Menurut banyak orang, waktu kedatanganku tidak tepat. Saat itu, Januari adalah musim hujan, beruntung pagi itu tidak hujan, namun matahari tak menampakkan kehangatannya karena tertutup mendung. Hilanglah satu kesempatan tuk melihat keindahan sunrise di sana.
Kedua adalah lautan pasir yang basah, kurang memberi sensasi saat angin menerbangkan butiran-butirannya. Tapi di musim apa pun, bagiku Bromo tetap menarik. Sayangnya di musim seperti ini, kunjungan turis pun hanya bertahan satu malam saja. Datang ketika malam larut, pagi menikmati keindahan Bromo, mulai dari mengintip sunrise dari Pananjakan hingga mendaki 250 tangga terakhir menuju kawah (caldera) di mana setiap tahun penduduk setempat melakukan ritual Kasada di sana.
Setelah itu adalah sepi, tak heran turis akan segera angkat kaki, bagi para backpacker setelah petualangan dilakukan, mendapat foto-foto sebagai target perjalanan, mereka akan segera beranjak menuju tujuan berikutnya. Seperti pasangan Willy dan Charlie dari New Zealand yang malam itu naik satu angkutan dari Probolinggo ke Sukapura, mereka lari dari negaranya yang sedang terbungkus salju ke Indonesia yang panas. Bromo menjadi salah satu tujuan dari rangkaian kunjungannya ke Indonesia setelah Bali dan Lovina, Bromo menjadi tempat persinggahan satu malam sebelum lanjut ke Yogyakarta.
No comments:
Post a Comment