Asap mengepul menebarkan aroma sangit yang mengundang selera. Dari manakah asalnya?
Bila Anda sedang berada di kota
Painan di Pesisir Selatan, Sumatera Barat dan menginap di Hotel Andini yang
berada di bilangan jalan Prof. Dr. HAMKA, Anda pasti dibuat penasaran oleh asap
yang mengepul di pojokan tanah kosong persis di samping kiri hotel tersebut.
Setiap pagi, mulai pukul 09.00 WIB – 14.00 WIB aktivitas bakar-bakar di tempat
itu mulai menebarkan aroma khas.
Asap yang tidak mengganggu itu
rupanya berasal dari aktivitas penjual kue singgang atau yang biasa disebut kue bika di Sumatera Barat. Kue
ini selalu hadir untuk menemani acara minum teh yang disuguhkan kepada para
tamu, maupun saat-saat senggang bersama keluarga.
Kue bakar ini terasa lembut
dengan selingan rasa kres dari kelapa
parut yang gurih. Aroma gosong menambah eskotika rasa yang membuat lidah ingin
selalu mencicipinya.
Menurut Uda Kamel (37) pembuat
dan penjaja kue singgang di samping Hotel Andini itu, kelapa yang digunakan
untuk membuat kue singgang haruslah kelapa baru petik. “Kalau kelapanya lama,
rasanya sudah tidak segar lagi,” katanya.
Jualan kue singgang sudah
menjadi tradisi keluarga Uda Kamel. Bersama sang adik, Idem (27) yang lulusan
Universitas Andalas mereka mewarisi tradisi keluarga berjualan kue Singgang.
Sang ayah Yusbar (58) bersama istrinya menghidupi keluarganya dengan berjualan
kue singgang di daerang Kambang Kecamatan Lengayang.
Setiap pagi mulai sekira pukul
08.00 WIB, Kemal dan Idem bahu membahu membangun tenda dan mulai membuat adonan
satu ember besar untuk jualan satu hari. Untuk kebutuhan satu hari it dibutuhan
3 gantang tepung beras (1 gantang = 6
kaleng susu), 4 kg gula pasir, 16 butir kelapa, dan Air secukupnya untuk
mengentalkan adonan.
Untuk cetakan, mereka
membuatnya dari kaleng susu cair yang dipotong dan diambil bagian bawahnya
sekira 2 cm. Di atas cetakan itu diletakkan lembaran daun baru (di Jawa dikenal
dengan nama daun waru). Setelah adonan dimasukkan ke cetakan, kemudian kue-kue
itu disusun di nampan lalu dipanggang secara tradisional menggunakan tong di
atas api yang dihasilkan dari sabut
kelapa kering yang dibakar, sedangkan di atasnya ditaruh batok kelapa kering
yang dibakar juga. “Kue ini di bakar atas-bawah sehingga orang Painan acapkali
menyebutnya kue neraka.”
Dengan harga jual satu biji seribu
rupiah, kue-kue yang dijual Kamel di tempat ini selalu habis tak tersisa.
“Kalau tidak cepat jam 14.00 WIB pembeli sudah tidak kebagian,” ujarnya.
No comments:
Post a Comment