Sunday, June 16, 2013

Kue "Neraka" (Bika): Kudapan Khas Warga Painan



Asap mengepul menebarkan aroma sangit yang mengundang selera. Dari manakah asalnya?
 
Bila Anda sedang berada di kota Painan di Pesisir Selatan, Sumatera Barat dan menginap di Hotel Andini yang berada di bilangan jalan Prof. Dr. HAMKA, Anda pasti dibuat penasaran oleh asap yang mengepul di pojokan tanah kosong persis di samping kiri hotel tersebut. Setiap pagi, mulai pukul 09.00 WIB – 14.00 WIB aktivitas bakar-bakar di tempat itu mulai menebarkan aroma khas.

Asap yang tidak mengganggu itu rupanya berasal dari aktivitas penjual kue singgang atau yang  biasa disebut kue bika di Sumatera Barat. Kue ini selalu hadir untuk menemani acara minum teh yang disuguhkan kepada para tamu, maupun saat-saat senggang bersama keluarga.
Kue bakar ini terasa lembut dengan selingan rasa kres dari kelapa parut yang gurih. Aroma gosong menambah eskotika rasa yang membuat lidah ingin selalu mencicipinya.

Menurut Uda Kamel (37) pembuat dan penjaja kue singgang di samping Hotel Andini itu, kelapa yang digunakan untuk membuat kue singgang haruslah kelapa baru petik. “Kalau kelapanya lama, rasanya sudah tidak segar lagi,” katanya.

Jualan kue singgang sudah menjadi tradisi keluarga Uda Kamel. Bersama sang adik, Idem (27) yang lulusan Universitas Andalas mereka mewarisi tradisi keluarga berjualan kue Singgang. Sang ayah Yusbar (58) bersama istrinya menghidupi keluarganya dengan berjualan kue singgang di daerang Kambang Kecamatan Lengayang.

Setiap pagi mulai sekira pukul 08.00 WIB, Kemal dan Idem bahu membahu membangun tenda dan mulai membuat adonan satu ember besar untuk jualan satu hari. Untuk kebutuhan satu hari it dibutuhan 3 gantang tepung beras  (1 gantang = 6 kaleng susu), 4 kg gula pasir, 16 butir kelapa, dan Air secukupnya untuk mengentalkan adonan.

Untuk cetakan, mereka membuatnya dari kaleng susu cair yang dipotong dan diambil bagian bawahnya sekira 2 cm. Di atas cetakan itu diletakkan lembaran daun baru (di Jawa dikenal dengan nama daun waru). Setelah adonan dimasukkan ke cetakan, kemudian kue-kue itu disusun di nampan lalu dipanggang secara tradisional menggunakan tong di atas api yang dihasilkan dari  sabut kelapa kering yang dibakar, sedangkan di atasnya ditaruh batok kelapa kering yang dibakar juga. “Kue ini di bakar atas-bawah sehingga orang Painan acapkali menyebutnya kue neraka.”

Dengan harga jual satu biji seribu rupiah, kue-kue yang dijual Kamel di tempat ini selalu habis tak tersisa. “Kalau tidak cepat jam 14.00 WIB pembeli sudah tidak kebagian,” ujarnya.


No comments:

Post a Comment