Sunday, May 10, 2015

Bertemu Bocah Rambut Gimbal/Gembel di Dieng


Zarlina Sayla Natania sedang asyik bermain dengan teman-teman sebayanya. Bocah usia 6 tahun, yang akrab disapa Lilin itu masih belum menapaki dunia pendidikan. Rencananya tahun ini, dia akan terdaftar sebagai salah satu murid di sekolah dasar.


Rambut Gembel, fenomena alam di tengah masyarakat Dieng

Di antara teman-teman sebanyanya, gadis kecil yang akrab disapa Lilin itu tampak biasa saja. Tidak ada perbedaan yang mencolok, ketika anak-anak berlari main kejar kejaran, Lilin berbaur tanpa canggung, bercanda, tertawa bersama bersama teman-teman sekampungya di Desa Dieng Kulon.

Siang menjelang sore itu gadis cilik yang pemberani bergabung dengan tim kita di rumah sesepuh Dieng Kulon Mbah Naroyono. Lilin yang pemberani namun masih malu-malu mengeluarkan suara itu menjawab semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya. “Lilin ini ndak seperti anak yang lain, dia pemberani dan mau difoto. Tapi nanti tolong ya, kasih dia permen atau uang untuk membeli permen,” pesan Mbah Naroyono sebelum memanggil Lilin tadi untuk bergabung.

Lilin yang ditemani nenek kecilnya (adik dari sang ibu) Tarmini (30) langsung suka ketika di foto, dan membolehkan kita untuk menyentuh rambutnya yang gimbal/gembel.


Berbeda dengan anak-anak lain yang memiliki rambut halus lurus maupun ombak, Lilin memiliki tekstur rambut yang kasar. Sebenarnya rambut Lilin cenderung ombak, namun yang membuatnya berbeda, rambut lilin terkait satu sama lain (mbentuk jalinan seperti gaya dried lock kaum rastafara-alm Mbah Surip). Bahkan di bagian belakang ada gumpalan padat yang menonjol dan mengikat rambut secara alami. “Rambutnya tetap seperti ini meskipun di-sampoin kalau mandi,” ujar Tarmini.

Lilin tidak sendirian, menurut mbah Naroyono, saat ini masih ada sekitar 30 anak yang memiliki rambut gembel seperti itu. Memang di wilayah Dieng, lazim ditemukan anak-anak berambut gembel yang secara mistis dipercayai oleh warga sebagai sesuatu yang istimewa. Rambut gimbal/gembel ini  dipercaya hanya dimiliki oleh anak-anak dari keturunan Dieng Asli, namun dalam kenyataan ada beberapa anak dari suku bangsa lain yang konon pernah meminta nasihat kepada mbah Naroyono karena mendapatkan rambut gimbal seperti anak-anak dieng.

Bahkan menurut Mbah Rusmanto, ada orang Padang yang mendatanginya untuk berkonsultsi tentang rabut gembel yangg dimilikinya. Orang Padang tersebut kebetulan membuka usaha warung di Semarang, dan suatu ketika di rambutnya tumbuh gembel seperti yang dimiliki oleh anak-anak di Dieng. Bahkan ketika dia mencoba mencukurnya sendiri rambut-rambut gembel itu tumbuh kembali. Hingga akhirnya dia menyerah dan mendengar kalau di Dieng ada cara tertentu untuk menghilangkan rambut gembel seperti itu.

Dan datanglah dia ke Mbah Rusmanto, yang kemudian ditanya: “Itu si Gembel minta apa?” setelah dijawab dan diberitahu tata upacara dan perlengkapan sesajinya, kemudian orang Padang itu pun mendapatkan ruwat dan melarung rambutnya. Hingga kini, konon katanya orang tersebut sudah terbebas dari rambut gembel.

Kembali ke anak rambut gembel di Dieng, mereka ternyata mendapat perlakuan lebih istimewa dibandingkan teman-teman sebayanya yang lain, misalnya orangtua akan menuruti semua keinginannya. Bahkan, menurut Mbah Naroyono, anak rambut gembel cenderung manja dan nakal.

Perlakuan istimewa orangtua terhadap anak berambut gimbal/gembel ini merujuk pada hal-hal yang dialami oleh anak-anak tersebut. Yakni bahwa kemunculan rambut gembel tidak serta-merta ada, melainkan, seorang anak yang akan mendapatkan rambut gimbal/gembel, dia aka mengalami sakit berkepanjangan dan tak kunjung sembuh dengan upaya pengobatan yang telah dilakukan oleh orangtua dan saudara-saudaranya. Badan anak tersebut akan panas dan menangis sepanjang waktu bahkan sampai ndremimil (mengigau), kejang-kejang, dengklingen (geringen/kurus kering). Kondisi semacam ini akan dialami hingga berhari-hari, minggu bahkan bulan. “Kalau situasinya seperti ini, sang orangtua sudah merasa bahwa anaknya akan tumbuh rambut gimbal –lah, kowe meh entuk rambut gembel iki—,” ungkap Mbah Naroyono.


Mbah Naroyono

Dengan keyakinan tersebut menurut Mbah Naroyono, orangtua bisa mendapat ketenangan, bahwa sakitnya sang anak adalah karena akan tumbuh gembel di rambutnya. Di kalangan masyarakat Dieng rambut gembel dipercaya merupakan titipan orang dari Samudera Kidul (Selatan). Orang ini dipercaya seabagi cikal bakal terbentuknya wilayah Dieng sebagai sebuah kawasan. Banyak versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat bahkan para peneliti yang pernah mendalami masalah sejarah di Dieng, namun semua cerita tentang cikal bakal pendiri Dieng, mengarah kepada orang yang bernama Eyang , yang makamnya ada di Gunung Kendil di kawasan Dieng.

Dan menurut cerita, anak-anak gembel ini adalah anak-anak yang terpilih untuk menjadi santapan Bathara Kala, sehingga gembel yang tidak bisa dihilangkan dengan sembarangan, harus melalui upacara ruwat untuk menghilangkan gembel, agar tidak dimangsa oleh Bathara Kala.

Tradisi ruwatan dilaksanakan ketika si anak rabut gembel sudah memiliki keinginan untuk mencukur rambutnya. Biasanya si sanak ketika sudah bisa berbicara akan ditanya oleh orangtuanya mau minta apa bila rambutnya dicukur. Bila si anak sudah bisa bicara dia akan menjawab secara spontan permintaan itu dan akan dikasihkan ketika upacara ruwat dilaksanakan. Namun meski sudah ada permintaan ruwatan belum bisa dilaksanakan bila si anak belum mau dipotong rambutnya untuk dilarung di telaga yang bermuara ke Pantai Selatan, yaiu dikembalikan kepada pemiliknya.

Rambut gembel adalah pemberian yang tidak bisa diminta dan tidak bisa ditolak. Mbah Rusmanto mengaku, dia pernah melakukan semedi berhari-hari di tempat-tempat keramat untuk meminta diberikan cucu yang berambut gembel, alasannya, bila ada peneliti atau mahasiswa yang sedang menulis rambut gembel dia akan dapat dengan mudah menunjukkannya, namun permintaan tersebut tidak juga dikabulkan hingga sekarang. Namun dulu, anak-anak dan istri Mbah Rusmanto adalah anak Gembel.


Mbah Rusmanto
Sedangkan Mbah Naroyono, dia diberi keturunan tiga anak yang semuanya berambut gembel. Anak pertamanya yang laki-laki lahir pada tahun 1973 dia meminta ondol-ondol (makanan dari singkong yang di tengahnyaditaruh gua jawa, berbentuk bulat digoreng), sedangkan anak keduanya perempuan yang lahir pada 1876 waktu dicukur dia minta ikan tongkol dua ekor dan buah sawo satu kg, terakhir anaknya perempuan yang lahir pada tahun daging iris berjumlah 100 irisan.

Mbah Naroyono dulu juga berambut gimbal, waktu dicukur permintaan yang diajukannya adalah kambing satu ekor.

Dulu ruwatan anak rambut gembel dilaksanakan sendiri oleh masing-masing keluarga. Saat ini upacara adat tersebut sering dilakukan untuk tujuan wisata budaya, pemda Wonosobo dalam rangka HUT-nya yaitu Birat Sengkolo, seringkali mengadakan acara cukur rabut gembel secara massal yang diikuti oleh sekitar 7-12 anak rambut gembel, juga Dieng Culture Festival yang dilaksanakan independen oleh komunitas pecinta Dieng juga mengangkat acara ruwatan rambut gembel sebagai atraksi wisata, namun banyak juga keluarga yang merasa gengsi bila anak-anak gembelnya dicukur secara massal, mereka lebih suka untuk melaksanakan sendiri dengan mengadakan selamatan secara sederhana di rumah.(*)


Dieng Plateu, Wonosobo, Jawa Tengah

Elizza Kisyya, Tokoh Inspiratif dari Haruku

Dengan petikan ukelele kesayangannya, Elizza Kissya mendendangkan lagu “Ikang Lompa” yang menurutnya ditulis bersama anak-anak yang sering nongkrong di pinggir pantai di depan Monumen Patung Latuharhary yang menjadi pusat rekreasi warga Haruku. Di tempat itu pula tumbuh satu pohon beringin yang rindang, bersebelahan dengan monumen Kalpataru kebanggaan warga yang diterima desa ini pada 1985 silam.


Pendekar Lingkungan Haruku Eli Kissya menyanyi saat menyambut tetamu yang berkunjung ke kampungnya.

Laki-laki sederhana berusia 65 tahun yang akrab disapa Om Eli itu tampak bersemangat mendendangkan lagu yag menceritakan tradisi dan kekayaan alam Haruku. Om Eli itu adalah kepala kewang (polisi hutan) di Negeri Haruku, Pulau Haruku, Maluku. Negeri adalah sebutan lain dari ”desa” di Maluku bagian tengah yang meliputi Pulau Ambon, Pulau Seram, dan Pulau-pulau Lease.

Pulau Haruku ditempuh hanya dalam waktu 20 menit dari Tulehu, Ambon. Meski hanya berjarak sepelemparan batu, Haruku masih murni bak mutu manikam yang belum diasah. Kelestarian alam terjaga, pun demikian adat tradisi yang secara turun temurun dilaksanakan oleh penduduk yang sehari-harinya bekerja di ladang yang mereka sebut dusong yang lokasinya berada di hutan atau ewang. Namun ketika musim sedang bersahabat, para pekerja keras ini akan beralih menjadi nelayan untuk memenuhi kebutuhan protein mereka.


Monumen Kalpataru kebanggaan warga.

Orang-orang yang sederhana ini menggambarkan kekayaan negerinya dalam bait-bait syair lagu “ikang Lompa” yang selalu dibawakan oleh Om Eli saat berbicara di berbagi forum baik di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta dan Yogyakarta, juga forum-forum internasional tentang kelestarian lingkungan di Haruku.

“Orang bilang ada ikang lompa balumpa
Di air cabang dua ya Nona
Di kampong Haruku
Kalau seng percaya
Datang sandiri lalo lia
Carita ini sudah nyata
Sio dari doloe....”

“Ale singgah di pante
Ale angka muka
Tiacigi satu tugue
Mester Yohanis Latuharhary
Pejuang bangsa
Di kanan ada buaya tatanang Kalpataru
Siohale
Satu lambang kebanggaan Beta

Reff:

Benteng badiri ta miring-miring
Dipukul ombak seng jadi-jadi
Sama orang bilang balanda maboe

Adalai di sana orang bisa mandi
Di kolam air panase
Bisa rabus kasbi jadi lombo
Sama bubure
Dan juga ada karang laut
Bajejer kiri kanan sioh ale
Deng paser putih
Putih manyalae”

Elizza Kissya adalah putera daerah yang lahir di Haruku pada 12 Maret 1949. Sehari-hari bekerja sebagai tani nelayan. Secara formal, dia hanya mengecap pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), tetapi sempat mengikuti banyak pendidikan non-formal, antara lain Pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989), Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh WALHI & Yayasan Hualopu (1991), Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992) dan Latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).

Dalam kedudukannya sebagai Pemangku atau Kepala Pelaksana Adat (Kewang) Desa negeri Haruku, terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional, antara lain pada Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) serta Simposium Sumberdaya Hukum Lingkungan & Seminar Hukum Adat Kelautan di Universitas Pattimura, Ambon (1991).


Rapat Kewang, penjaga adat istiadat Haruku

Om Eli memulai kiprahnya sejak 1979, bersama masyarakat dan Raja (Kepala Desa) Haruku saat itu, Berthy Ririmase, mereka menghidupkan kembali lembaga dan hukum adat daerahnya untuk mengelola lingkungan hidup secara lestari, terutama penyempurnaan hukum sasi (larangan adat) untuk melindungi populasi dan habitat ikan lompa (Trisina baelama) di perairan Haruku. Untuk kepeloporannya ini, Kantor Menteri Negara Kependudukan & Lingkungan Hidup menganugerahkan penghargaan tertinggi nasional di bidang lingkungan hidup, Hadiah Kalpataru, pada tahun 1985.

Sampai kini, Om Eli tetap gigih melakukan penghijauan di pesisir pantai Haruku untuk mengembangkan kawasan habitat burung maleo. Juga aktif menentang pemboman ikan dan terumbu karang serta pengerukan kerikil pantai di Haruku yang bahkan sampai ke tingkat pengadilan.

Sebagai seorang kewang, Om Eli tak peduli walau pekerjaannya penuh tekanan, berisiko tinggi, dan tak menghasilkan gaji. Kecintaan Elizza Kissya untuk melestarikan lingkungan dan adat di Pulau Haruku justru mengalahkan ketakutan dan stres yang dialaminya selama ini.

Menjadi kepala kewang, tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Profesi itu seharusnya jatuh ke tangan sang kakak. Namun, karena kakaknya telah menjadi sekretaris desa, maka ia yang ditunjuk mewakili marganya untuk menjadi kewang. Tanggung jawab untuk melestarikan adat leluhur menjadi dorongan kuat baginya.

Tugas sebagai kepala kewang bukanlah hal mudah. Meskipun namanya polisi hutan, kewang di Negeri Haruku bukan hanya bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan, melainkan juga menjaga kelestarian sumber daya laut. Kewang juga berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara norma susila, serta menegakkan hukum adat atas setiap pelanggaran aturan yang ada sejak zaman nenek moyang mereka. Tantangan terberatnya sebagai seorang pemangku adat adalah tidak adanya pengakuan legal pemerintah atas sistem adat yang berlaku di negerinya.

Pemberlakuan sistem desa di masa Orde Baru telah mengikis sebagian norma adat di sejumlah daerah, termasuk di Haruku. Runyamnya penghargaan dan pemahaman anak muda terhadap sistem adat yang berlaku di daerah sangatlah kurang. Demikian pula penghargaan mereka atas profesi para pemangku adat. Tidak berlebihan bila Elizza Kisyya cemas, siapa yang akan meneruskan tugas mulia yang kini diembannya.

Tugas seorang kewang memang berat. Untuk menjaga kelestarian sumber daya hayati di wilayah perairan di zaman modern ini, para kewang harus berhadapan dengan para nelayan yang menggunakan bom ikan dan pemakaian mata jaring yang dapat menangkap benih-benih ikan. Padahal, peralatan kewang sangatlah minim. Apalagi kewenangannya yang sangat terbatas membuat para kewang Haruku tidak dapat memberi sanksi kepada nelayan dari desa lain. Untuk menjaga ketertiban masyarakat, para kewang tidak hanya berpatroli keliling desa, tetapi juga harus menyelenggarakan peradilan adat untuk menghukum mereka yang melanggar ketentuan adat.

Masa-masa sulit yang dihadapi Eli adalah saat ia harus menjadi saksi dalam persidangan di pengadilan negeri atas kasus penangkapan ikan dengan bom. Selain menghadapi tekanan, Eli harus dikecewakan dengan vonis ringan yang dijatuhkan pengadilan terhadap perusak lingkungan tersebut. Upaya yang ia lakukan bersama para kewang lainnya terasa sia-sia.


Bersantai di depan Totu Resort.


Bercermin dari kasus itu, Eli mengubah langkahnya. Seiring usia yang semakin matang, Eli memilih menggunakan cara-cara yang lebih lembut dalam menjaga kelestarian lingkungan. Menanamkan pentingnya arti lingkungan kepada masyarakat, terutama kaum muda, menjadi pilihan perjuangan Ely saat ini. ”Saya hanya berharap anak-anak muda untuk mencintai lingkungannya,” katanya.(*) 

Thursday, May 7, 2015

Tradisi Sasi di Haruku

IKANG LOMPA

Orang bilang ada ikang lompa balumpa
Di air cabang dua ya Nona
Di kampong Haruku
Kalau seng percaya
Datang sandiri lalo lia
Carita ini sudah nyata
Sio dari doloe


Ale singgah di pante
Ale angka muka
Tacigi satu tugue
Mester Yohanis Latuharhary
Pejuang bangsa
Di kanan ada buaya tatanang Kalpataru
Siohale
Satu lambang kebanggaan Beta

Reff:

Benteng badiri ta miring-miring
Dipukul ombak seng jadi-jadi
Sama orang bilang balanda maboe

Adalai di sana orang bisa mandi
Di kolam air panase
Bisa rabus kasbi jadi lombo
Sama bubure
Dan juga ada karang laut
Bajejer kiri kanan sioh ale
Deng paser putih

Putih manyalae


TRADISI SASI , Kearifan Lokal untuk Menjaga Lingkungan Hidup

Sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun, dipegang keaslian aturan-aturannya, secara tidak disadari adalah sebuah hukum yang dapat menata kehidupan masyarakat agar tetap langgeng dan lestari. Seperti sebuah tradisi di Haruku, Maluku Tengah. Larangan-larangan tentang berbagai hal, membawa penghargaan Kalpataru sebagai sebuah kebanggaan bagi mereka.


Nelayan menjadi mata pencaharian utama masyarakat Desa Haruku di Maluku
Desa Haruku terletak di Pulau Haruku yang berada di antara pulau Ambon dan Saparua. Desa ini dapat ditempuh dari Kota Ambon melalui pelabuhan kecil di Tulehu yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan roda empat. Dari Tulehu, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang speedboat kapasitas enam orang plus dua crew dengan waktu tempuh sekira 20 menit.

Perairan di Selat Haruku ini aman untuk kapal-kapal kecil, namun pada musim pasang, gelombang besar siap menghadang para penyeberang, cukup untuk menguji nyali para penumpang.

Keindahan pulau Haruku langsung terlihat begitu kaki menginjakan pasir di tempat pendaratan. Ada pelabuhan utama di Desa Haruku yakni di depan gereja Haruku yang merupakan landmark desa atau tempat berkumpulnya masyarakat, utamanya para pemuda dan anak-anak. Mereka biasa duduk-duduk santai di saat udara cerah selepas kegiatan sekolah atau bekerja, yakni pada sore hingga petang hari.


Patung Latuharhary menghadap laut. Pahlawan kebanggaan warga setempat.

Di depan gereja desa yang masih dalam tahap pembangunan itu tumbuh pohon beringin besar yang di bawahnya dibangun plester semen mengelilingi pohon di mana warga  dapat memanfaatkannya sebagai tempat duduk dan kongkow.

Sementara di sisi kiri depan menghadap pantai, menjulang patung Gubernur Maluku pertama MRJ Latuharhary yang merupakan putera daerah kebanggaan Haruku. Di monumen tersebut tertulis nama sang Gubernur yang lahir pada 6 Juli 1900 dan wafat pada 8 Nopember 1959. Latuharhary menjabat sebagai Kepala Daerah Maluku pada 1945-1955.

Di sisi sebelah kanan bersebelahan dengan kantor kepala desa (Baileo Negeri), terdapat satu monumen lagi yang menjadi kebanggaan warga masyarakat adat Haruku. Di sana berdiri megah patung seekor buaya yang di punggungnya terdapat lima ekor lompa dan pohon simbol kalpataru. Buaya tersebut berada di atas simbol Negeri Haruku yang bertuliskan Pelasona Nunuroko bergambarkan bunga kuning dengan dedaunan yang melingkar. Patung buaya inilah yang mewakili legenda tentang ikan lompa yang dikenal dengan pemberlakukan ritual tutup dan buka sasi lompa.


Baileo yang sekaligus menjadi kediaman Kewang

Di bawah patung tersebut terdapat keterangan makna monumen yang berdiri tersebut. Bagi para pendatang, monumen ini cukup menjadi penunjuk bahwa masyarakat Haruku pernah menerima penghargaan pemerintah untuk upaya pelestarian lingkungan hidup yaitu Kalpataru. Di bawah monumen itu tertulis tanggal peghargaan diberikan yaitu pada 5 Juni 1985.

Keberadaan monumen itu langsung menjadi pemicu pertanyaan, apa yang telah dilakukan masyarakat desa ini sehingga mampu meraih penghargaan bergengsi di bidang lingkungan itu?
Dari hasil kunjungan penulis ke Haruku selama 10 hari, menyelami kehidupan dan mengobrol dengan masyarakat di lokasi, mampu mengungkap upaya pelestarian lingkungan yang berbasiskan kearifan lokal oleh warga Negeri Haruku. Nilai-nilai itu terkandung dalam pelestarian alam lingkungan yang dikemas dalam bungkus kearifan lokal.

Bahwa sebagai penduduk pulau kecil yang tentu saja secara geografis sangatlah terbatas, eksploitasi alam tidak boleh dilaksanakan dengan semena-mena. Untuk pencegahan itulah, maka para tetua di Haruku menerapkan sasi yaitu larangan-larangan yang bertujuan untuk menerapkan regulasi dalam mengambil kekayaan alam, untuk kelangsungan hidup mereka.


Tanjung Totu
Setelah melakukan kontak dengan pemimpin adat dari Negeri Haruku, yakni Kewang Darat Eliza Kissya, rombongan diarahkan untuk menginap di Totu Resort, yang merupakan tempat bersejarah di Negeri (Desa) Haruku pada saat terjadinya kerusuhan di Ambon.


Totu Resort

Totu resort berada sekira 5 km dari pusat Negeri Haruku. Pendatang dari Ambon bisa langsung mendarat di Tanjung Totu dan langsung naik ke resort yang memiliki % kamar tamu dan satu balai pertemuan dengan kamar mandi yang berjejer rapi di bagian belakang. Untuk mencapai pusat Negeri Haruku bisa dilakukan dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dengan sisa aspal yang sudah hancur di beberapa bagian. Namun untuk saat ini ada ojek yang siap mengantar dengan tarif Rp 5.000.


Eliza Kissya, Kewan Darat juga Pemilik dan Pengelola Totu Resort

Secara ekonomi, kehadiran Totu Resort ini diharapkan akan menjadi sebuah mata pencaharian baru bagi masyarakat sekitar. Namun sayang, resort ini mengalami perkembangan  yang sangat lambat. Sebab infrastruktur yang minim ditambah dengan kurangnya promosi untuk menjual Totu sebagai tempat wisata. Tujuan itu pun masih tersendat hingga kini. Menurut pengelola Kewang Eli, tempat ini jarang sekali digunakan semenjak berdiri, hanya ada beberapa pertemuan masyarakat adat yang pernah menjadi tamu. Itu pun tidak tentu waktunya. Bisa dikatakan tempat ini sering menganggur daripada diisi oleh tetamu.

Mata Pencaharian
Masyarakat Negeri Haruku menyandarkan hidup pada alam sekitar. Ada dua wilayah besar yang menjadi sumber mata pencaharian mereka yaitu darat dan laut. Dua wilayah ini merupakan sumber penghidupan yang tidak pernah habis, alam menyediakan kebutuhan makanan bagi setiap orang yang hidup di pulau ini.



Eli Ririmasse, Kewang Laut, sepulang dari mencari ikan.

Darah petani dan nelayan menyatu dalam setiap penduduk dewasa yang telah memiliki kewajiban untuk bekerja. Laut menyediakan kebutuhan protein hewani. Nelayan mencari ikan di sekitar perairan selat Haruku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten). Berangkat pagi sekitar jam 06.00 -12.00 WITA. Dengan menggunakan perahu  ketinting dan pancing, mereka akan mendapatkan ikan yang cukup untuk dikonsumsi bersama keluarga, dan sebagian dijual oleh tetangga ketika mereka kembali ke rumah. Untuk ikan cakalang ukuran sekira 30 cm per ekor dihargai Rp10.000.

Sekali tangkap, seorang nelayan berhasil membawa pulang 6-10 ekor ikan. Biasanya mereka mendapakan beberapa jenis ikan yaitu cakalang, momar, parang-parang, dan mata damar. Jenis ikan ini merupakan ikan permukaan yang ditangkap dengan umpan buatan yang menyerupai bulu ayam (artifisial).

Namun ketika musim bagus, para nelayan ini akan mencari ikan lebih jauh lagi yaitu di sekitar Laut Banda. Di tempat inilah para nelayan akan berburu ikan tuna. Jika sedang beruntung mereka akan mendapatkan satu ekor tuna seberat 60-100 kg. Ikan tersebut akan dibawa ke pasar di Tulehu untuk dijual. Semy Ferdinandus, narasumber yang seorang nelayan ini mengaku pendapatan nelayan Haruku tidak sebesar nelayan dari Negeri tetangga karena kalah peralatan. “Nelayan Haruku menggunakan ketinting yang hanya sepanjang sekitar 5 meter, nelayan lain yang menggunakan kole-kole (lebih besar dengan mesin johnson yang lebih cepat) mereka akan menangkap ikan lebih banyak. Sedangkan kami hanya satu ikan besar saja sudah memenuhi ketinting kecil kami,” ungkap Semy.

Menurut Semy, nelayan yang menggunakan kole-kole juga lebih unggul, selain dapat mencapai Tulehu dengan lebih cepat, tuna yang mereka tangkap juga dapat langsung diloying (dibersihkan, dipotong kotak-kotak/fillet, dan dikemas) harga jual pun menjadi lebih tinggi. Nelayan Kole-Kole ini kebanyakan berasal dari berasal dari Banda dan Sangihe.

Ada sekitar 15 nelayan di Haruku yang memilih untuk menjadi spesialis memancing ikan tuna. Mereka melaut di saat musi Timur di mana air laut tenang dan aman. Untuk memancing tuna diperlukan pengetahuan yang cukup agar mendapatkan hasil yang bagus. Berbeda dengan memancing ikan untuk konsumsi harian, memancing tuna dibutuhkan pengetahuan dan teknik tersendiri. Tuna tidak bisa ditipu dengan ikan buatan atau ikan-ikanan plastik. Tuna hanya mau memakan umpan berupa cumi yang masih hidup dan mengeluarkan cairan tinta.

Nelayan tuna di Haruku telah menguasai teknik memancing tuna, yaitu dengan menggunakan cumi-cumi dan tinta. Sebelum memncing tuna, nelayan tuna akan mencari cumi-cumi di sekitar selat Haruku. Cara memancing tuna adalah dengan mengaitkan cumi-cumi yang sudah mati, kemudian di ujung agak ke atas diberi tinta yang disumbat dengan senar dan digulung dengan batu. Pada saat diturunkan sumbat akan lepas dan tinta terburai di air. Keluarnya tinta inilah yang akan menarik perhatian ikan tuna untuk menyambar umpan. Pengetahuan semacam ini didapakan dari hasil sharing atau berbincang dengan nelayan lain saat mereka bertemu baik di tengah laut maupun saat di pasar menjual hasil buruan mereka.

Para nelayan Haruku akan berganti pekerjaan di laut dan pergi ke hutan atau dusong ketika musim barat tiba yaitu sekitar bulan September hingga Desember. Pada saat seperti ini mereka menjadi petani. Namun khusus untuk Sagu yang juga menjadi makanan utama pemenuhan kebutuhan karbohidrat, akan diambil dari Dusong bila persediaan mereka habis. Tidak ada waktu tertentu dalam kebutuhan makanan pokok ini. Bila persediaan sagu habis, maka sang kepala ruahh tangga bersama dengan saudara laki-laki dan dibantu oleh beberapa perempuan akan pergi ke ladang mereka di ewang/dusong. Mereka akan memukul sagu. Proses pekerjaan ini akan memakan waktu sekitar dua minggu. Biasanya mereka akan memotong dua sampai tiga batang sagu yang sudah tua.

Bagi kaum perempuan ada satu saat yang terlarang untuk dihadiri yaitu ketika proses penuangan sagu yang sudah menjadi bubuk ke dalam tumang yaitu wadah yang dibuat dari daun pisang sebagai tempat penyimpanan terakhir. Masyarakat mempercayai bila proses inii dilihat oleh kaum perempuan, maka hasil sagu yang mereka peroleh akan berkurang.

Dalam tumang-tumang inilah sagu di simpan dan akan bertahan hingga berbulan-bulan asal kondisinya tetap kering. Di pasar di Tulehu, satu tumang dijual seharga Rp30.000,-
Namun masyarakat Haruku jarang menjul sagu sampe ke Tulehu, kebanyakan sagu mereka sudah ada yang membeli ketika dibawa ke rumah.

Selain sagu, pada saat musim barat, para nelayan ini akan menjadi petani cengkeh atau pala yang akan mereka kerjakan secara bersama-sama di Hutan (Ewang).

Kepemilikan tanah di haruku telah diatur dalam register yaitu berupa Tanah Dati dan Tanah Pusaka, setiap orang sudah mengetahui batas dan tanah atau dusong yang dimiliki oleh setiap keluarga atau soa.

Kisah Keluarga Haruku
Rabu, 11 Juni 2014, siang. Tim Peneliti Kearifan Lokal di Haruku bertandang ke rumah kewang Laut Eli Ririmasse, kedatangan tim disambut oleh anak perempuan Kewang yang mengatakan Bapak sedang ke Dusun (Dusong). Hari itu rupanya, mereka sedang pukul sagu di ladang mereka di hutan. Kami pun melnjutkan perjalanan hari itu ke rumah Bapak Raja yang tidak jauh dari rumah Kewang Laut itu. 


Istri Eli Ririmasse mengolah ikan hasil tangkapan, sebagian dimasak hari itu, sebagian lagi disimpan.

Pada Kesempatan Lain kami menunggu Bapak Eli yang sedang mencari ikan untuk persediaan lauk. Bapak Eli berangkat pukul 06.00 dan kembali sekitar pukul 12.00 WIT.

Bersama dengan anak perempuan dan tiga cucunya yang masih balita, kami menunggu Bapak Eli yang sudah tampak dengan perahu ketintingnya dari kejauhan. Kami menunggu di pantai belakang Balai Desa, tidak jauh dari monumen Latu Harhary di depan gereja Desa Haruku.
Di bibir pantai dibangun tembok setinggi sekitar 1,5 meter, di situlah kami duduk-duduk memandang laut lepas.

Melihat kami menunggu, Bapak Eli pun mengangkat hasil pancingan yang tampak lumayan buat persediaan lauk di rumah.

Para cucu dan anak perempuannya pun kemudian turun ke tepi pantai melihat Bapak Eli sudah merapatkan perahu ketintingnya di tanggul laut (talut). Disorongkannya ikan-ikan hasil tangkapan yang sudah dikumpulkan, hari itu didapatkan dua ekor matadamar yang berwarna kemerahan dengan mata bulat yang cukup lebar, dengan berat ikan sekitar 0,5kg, kemudian ikan tongkol dengan berat sekira 2kg 5 ekor, ikan parang-parang dengan panjang sekitar setengah meter.

Ikan-ikan itu pun langsung dibawa pulang, sementara Bapak Eli menambatkan perahunya di pantai dekat kuburan sekitar 200 meter sebalah kanan desa.

Sampai di rumah, ikan langsung ditauruh di para-para di luar dapur. Sudah tersedia satu ember air bersih dengan jeruk di dalamnya. Sebelum dibersihkan rupanya ada dua orang tetangga yang datang dn langsung membeli ikan tongkol mereka seekornya dihargai Rp10.000,-

Sisanya, ikan-ikan itu langsung dibersihkan dan dipotong-potong oleh istri Bapak Eli, yang katanya akan disimpan di kulkas milik adek mereka. Di rumah Bapak Eli tidak ada kulkas pendingin.

Menurut istri Bapak Eli, ikan ikan itu akan dimasak untuk bekal pukul sagu ke Dusong.
Dia juga memberikan setengah ikan tongkol (dibelah dua) untuk keluarga adiknya yang menerima titipan ikannya untuk disimpan. Biasanya ikan-kan tersebut dimasak santan untuk ikan parang-parang dan matadamar, sedangkan tongkol digoreng dan dimakan dengan sambal colo-colo atau dabu-dabu.

Sebelum ada kulkas, lemari pendingin, msyarakat Haruku menyimpan daging ikan dengan teknologi tradisional penyimpanan makanan yaitu daging di asar/diasap. Setelah daging diasap selama satu jam, daging bisa langsung dimakan, namun bila akn disimpan, maka daging akan dibiarkan menggantung kering di tempat pengasapan. Namun teknik semacam ini sudah jarang dilakukan.

Dapur orang Haruku memiliki keragaman yang khas, mereka memiliki para-para di dekat pintu masuk di depan para-para terdapat tumpukan batu yang berguna untuk membuang air cucian, air limbah akan menerap ke dalam batu dan kembali ke tanah, sedangkan kotoran yang ada dalam limbah itu akan tersangkut di batu, pada saat matahari mengeringkan batu-batu itu, maka kotoran yang menyangkut di batu dapat diambil dan dibuang ke tempat sampah kering.
Sistem ini bagus sehingga tidak ada comberan yang bau dan mengundang nyamuk. Dapur adalah tempat menyimpan segala peralatan penangkapan ikan, mulai jaring, keranjang ikan, bahkan mereka juga menyimpan atap berupa jalinan dari daun sagu di sisi luar dapur. Di sekitar dapur terdapat tanaman yang juga bisa dikonsumsi dan sebagai bumbu dapur, seperti pepaya, jeruk atau mereka sebut pohon lemong, nanas, dan beragam dedaunan yang bisa dimasak sayur.

Mereka juga memiliki satu tempat untuk kayu bakar, yang juga berguna untuk menyimpan berbagai bibit tanaman yang sedang mereka upayakan seperti tunas kelapa, bibit cengkeh, dan bibit pala.(*)



Wednesday, May 6, 2015

D'Smart, Kerja dan Wisata ala Mamuju Utara

Gerakan Membangun Desa Sejahtera, Mandiri, dan Bermartabat (D'Smart) diusung Bupati Mamuju Utara Agus Ambo Djiwa sebagai gerakan terpadu yang unik dalam membangun Kabupaten yang kini berusia 12 tahun itu. Seperti apa gelarannya?



Pasangan muda-mudi  Desa Kasta Buana yang merupakan transmigran asal Bali di Kabupaten Mamuju Utara bersiap menunggu kedatangan Bupati yang akan menginap di tenda dalam  acara D’Smart


Langkah Konkret Membangun Bersama Rakyat

Waktu menunjukkan pukul 10.30 WITA. Keramaian mewarnai satu titik di ujung pintu masuk Desa Kasta Buana, Kecamatan Bulu Taba, Kabupaten Mamuju Utara, Provinsi Sulawesi Barat. Musik tradisional Bali mengalun menyejukan hari yang sudah cukup terik itu.

Terasa aneh memang, ini di Sulawesi, namun alunan musik khas Bali membawa anga kita ke suasana Pulau Dewata nan Agung. “Kampung ini memang didominasi oleh transmigran asal Bali. Mereka masi memagang adat tradisi leluhurnya seperti di Tanah asalnya,” kata Kepala Desa Kasta Buana Mattoana. 

Sepasang pemuda-pemudi mengenakan baju kebesaraan adat Bali siap membawa kalungan bunga untuk menyambut kedatangan Bupati Mamuju Utara Agus Ambo Djiwa dan rombongan.

Usai menempuh perjalanan dua jam melalui jalanan mulus dari Pasangkayu disambung jalanan tanah sempit berdebu sepanjang 2 km memasuki hutan sawit menuju lokasi acara, rombongan bupati disambut di pintu masuk desa Kasta Buana.


Rombongan bupati dijemput di pintu masuk lapangan dan diantar menggunakan iring-iringan traktor ke Lapangan desa.

Setelah tata cara penyambutan dengan upacara adat Bali, Bupati menaiki kendaraan kelapa sawit, traktor tangan yang disambung dengan gerobak terbuka, beriringan menuju lapangan desa yang berjarak sekitar 1km. Di sanalah tenda-tenda dari seluruhh SKPD kabupaten berdiri untuk melayani masyarakat untuk memperpendek jarak saat warga membutuhkan. Dan di sana pula bupati dan seluruh jajarannya menginap malam itu, menyatu dengan denyut kehidupan masyarakat desa di tengah hutan sawit itu.

Gelaran GEMA D’SMART yang merupakan kependekan dari Gerakan Membangun Desa Sejahtera, Mandiri, dan Bermartabat pun dimulai.

“Program `Desa Smart` yang kami canangkan sejak 2010 telah membuahkan hasil positif. Sedikitnya ada 12 desa di Mamuju Utara tertangani dengan baik dengan menghabiskan anggaran Rp12 miliar," kata Bupati Mamuju Utara Agus Ambo Djiwa di Mamuju. “Kami mengagendakan kegiatan ini setiap bulan. Kami dirikan tenda sebagai kantor untuk melayani masyarakat desa secara langsung,” sambungnya.


Ibu Bupati dan Dharmawanita juga ambil bagian dalam kegiatan D’Smart, memberikan bimbingan untuk pemanfaatan lahan di sekitar rumah sebagai Taman Tanaman Obat.

Gema D’Smart atau Desa Smart muaranya adalah untuk mengajak masyarakat ikut berpartisipasi secara bergotong royong dalam mendukung percepatan pembangunan di perdesaan. Program Desa Smart, menurut Bupati dilaksanakan dengan membangun sistem kerja sama yang baik antara pemerintah dan masyarakat agar pembangunan masyarakat yang sedang dipacu dapat semakin ditingkatkan. “Banyak kegiatan yang dilaksanakan pada program `Desa Smart` di antaranya program peningkatan penyuluhan pendidikan, kesehatan, hukum, keahlian kerja dan lainnya,” paparnya.

Oleh karena itu, dalam kegiatan ini  semua pihak  termasuk aparat kepolisian, kejaksaan dan SKPD lainnya diajak serta turut bahu membahu menyukseskan program ini sesuai dengan pekerjaannya.

Program Desa Smart ini digulirkan semenjak Agus Ambo Djiwa menjadi bupati. Kegiatan dianggap sebuah ide gagasan yang tepat dalam upaya pembangunan masyarakat perdesaan. “Pemerintah pusat juga memberikan apresiasi dan bahkan menjadi program percontohan secara nasional,” ungkap Bupati.

Bahkan katanya, dirinya merasa berbangga karena berkat program Desa Smart ternyata dia masuk dalam deretan delapan tokoh dalam pembuatan salah satu buku yang diluncurkan oleh pemerintah pusat.

Kegiatan Desa Smart ini juga bukan melulu soal pelayanan, namun sisi humanisme juga kental terasa. Salah satunya adalah hadirnya pejabat di tengah masyarakat.  “Kegiatan seperti ini juga menjadi semacam acara wisata bersama bagi para pegawai yang setiap hari berkutat dengan pekerjaan,” kata Bupati.


Tenda-tenda di Lapangan Desa Kasta Buana

Kedekatan pejabat dan rakyat memang terlihat selama acara berlangsung. Saat sosialisasi, makan bersama, hingga malam keakraban di mana pejabat turut menarikan Dero yang merupakantarian tradisonal khas masyarakat Sulawesi yang menyimbolkan persatuan. Menari bergandengan tangan membentuk lingkaran, menyamakan langkah sesuai irama.


Dero, menari bersama dalam satu lingkaran. Sebagai puncak acara D’Smart.

Atraksi semacam ini tentu saja akan menarik bila menjadi sebuah paket wisata. Wisatawan tidak hanya menikmati panorama alam tapi juga bergaul secara langsung dengan masyarakat dan menyelami kehidupan di wilayah pedesaan. Selain acara camping di lapangan desa wisatawan juga dapat melakukan paket adventure menelusuri perkebunan sawit melihat aktivitas di perdesaan seperti peternak sapi.

Sedangkan di wilayah pesisir aktivitas pembuatan abon sapi atau pengolahan minyak kelapa juga menarik untuk disimak. Kegiatan sekaligus dapat dijadikan acara hunting oleh-oleh khas dari daerah Mamuju Utara.


Bagi Anda yang suka wisata petualangan, ada kehidupan masyarakat asli yang masih tinggal di atas pohon. Mereka adalah Suku Bunggu, suku asli yang tinggal di wilayah hutan. Untuk sampai ke kampung mereka dibutuhkan waktu lima jam jalan kaki. Sayangnya kunjungan saya kemarin  belum sempat sampai ke suku tersebut. Suatu saat nanti saya ingin kembali lagi ke sana, semoga sektor pariwisata sudah menjadi salah satu unggulan kabupaten ini. Amin.(*)