Sunday, May 10, 2015

Bertemu Bocah Rambut Gimbal/Gembel di Dieng


Zarlina Sayla Natania sedang asyik bermain dengan teman-teman sebayanya. Bocah usia 6 tahun, yang akrab disapa Lilin itu masih belum menapaki dunia pendidikan. Rencananya tahun ini, dia akan terdaftar sebagai salah satu murid di sekolah dasar.


Rambut Gembel, fenomena alam di tengah masyarakat Dieng

Di antara teman-teman sebanyanya, gadis kecil yang akrab disapa Lilin itu tampak biasa saja. Tidak ada perbedaan yang mencolok, ketika anak-anak berlari main kejar kejaran, Lilin berbaur tanpa canggung, bercanda, tertawa bersama bersama teman-teman sekampungya di Desa Dieng Kulon.

Siang menjelang sore itu gadis cilik yang pemberani bergabung dengan tim kita di rumah sesepuh Dieng Kulon Mbah Naroyono. Lilin yang pemberani namun masih malu-malu mengeluarkan suara itu menjawab semua pertanyaan yang ditujukan kepadanya. “Lilin ini ndak seperti anak yang lain, dia pemberani dan mau difoto. Tapi nanti tolong ya, kasih dia permen atau uang untuk membeli permen,” pesan Mbah Naroyono sebelum memanggil Lilin tadi untuk bergabung.

Lilin yang ditemani nenek kecilnya (adik dari sang ibu) Tarmini (30) langsung suka ketika di foto, dan membolehkan kita untuk menyentuh rambutnya yang gimbal/gembel.


Berbeda dengan anak-anak lain yang memiliki rambut halus lurus maupun ombak, Lilin memiliki tekstur rambut yang kasar. Sebenarnya rambut Lilin cenderung ombak, namun yang membuatnya berbeda, rambut lilin terkait satu sama lain (mbentuk jalinan seperti gaya dried lock kaum rastafara-alm Mbah Surip). Bahkan di bagian belakang ada gumpalan padat yang menonjol dan mengikat rambut secara alami. “Rambutnya tetap seperti ini meskipun di-sampoin kalau mandi,” ujar Tarmini.

Lilin tidak sendirian, menurut mbah Naroyono, saat ini masih ada sekitar 30 anak yang memiliki rambut gembel seperti itu. Memang di wilayah Dieng, lazim ditemukan anak-anak berambut gembel yang secara mistis dipercayai oleh warga sebagai sesuatu yang istimewa. Rambut gimbal/gembel ini  dipercaya hanya dimiliki oleh anak-anak dari keturunan Dieng Asli, namun dalam kenyataan ada beberapa anak dari suku bangsa lain yang konon pernah meminta nasihat kepada mbah Naroyono karena mendapatkan rambut gimbal seperti anak-anak dieng.

Bahkan menurut Mbah Rusmanto, ada orang Padang yang mendatanginya untuk berkonsultsi tentang rabut gembel yangg dimilikinya. Orang Padang tersebut kebetulan membuka usaha warung di Semarang, dan suatu ketika di rambutnya tumbuh gembel seperti yang dimiliki oleh anak-anak di Dieng. Bahkan ketika dia mencoba mencukurnya sendiri rambut-rambut gembel itu tumbuh kembali. Hingga akhirnya dia menyerah dan mendengar kalau di Dieng ada cara tertentu untuk menghilangkan rambut gembel seperti itu.

Dan datanglah dia ke Mbah Rusmanto, yang kemudian ditanya: “Itu si Gembel minta apa?” setelah dijawab dan diberitahu tata upacara dan perlengkapan sesajinya, kemudian orang Padang itu pun mendapatkan ruwat dan melarung rambutnya. Hingga kini, konon katanya orang tersebut sudah terbebas dari rambut gembel.

Kembali ke anak rambut gembel di Dieng, mereka ternyata mendapat perlakuan lebih istimewa dibandingkan teman-teman sebayanya yang lain, misalnya orangtua akan menuruti semua keinginannya. Bahkan, menurut Mbah Naroyono, anak rambut gembel cenderung manja dan nakal.

Perlakuan istimewa orangtua terhadap anak berambut gimbal/gembel ini merujuk pada hal-hal yang dialami oleh anak-anak tersebut. Yakni bahwa kemunculan rambut gembel tidak serta-merta ada, melainkan, seorang anak yang akan mendapatkan rambut gimbal/gembel, dia aka mengalami sakit berkepanjangan dan tak kunjung sembuh dengan upaya pengobatan yang telah dilakukan oleh orangtua dan saudara-saudaranya. Badan anak tersebut akan panas dan menangis sepanjang waktu bahkan sampai ndremimil (mengigau), kejang-kejang, dengklingen (geringen/kurus kering). Kondisi semacam ini akan dialami hingga berhari-hari, minggu bahkan bulan. “Kalau situasinya seperti ini, sang orangtua sudah merasa bahwa anaknya akan tumbuh rambut gimbal –lah, kowe meh entuk rambut gembel iki—,” ungkap Mbah Naroyono.


Mbah Naroyono

Dengan keyakinan tersebut menurut Mbah Naroyono, orangtua bisa mendapat ketenangan, bahwa sakitnya sang anak adalah karena akan tumbuh gembel di rambutnya. Di kalangan masyarakat Dieng rambut gembel dipercaya merupakan titipan orang dari Samudera Kidul (Selatan). Orang ini dipercaya seabagi cikal bakal terbentuknya wilayah Dieng sebagai sebuah kawasan. Banyak versi cerita yang beredar di kalangan masyarakat bahkan para peneliti yang pernah mendalami masalah sejarah di Dieng, namun semua cerita tentang cikal bakal pendiri Dieng, mengarah kepada orang yang bernama Eyang , yang makamnya ada di Gunung Kendil di kawasan Dieng.

Dan menurut cerita, anak-anak gembel ini adalah anak-anak yang terpilih untuk menjadi santapan Bathara Kala, sehingga gembel yang tidak bisa dihilangkan dengan sembarangan, harus melalui upacara ruwat untuk menghilangkan gembel, agar tidak dimangsa oleh Bathara Kala.

Tradisi ruwatan dilaksanakan ketika si anak rabut gembel sudah memiliki keinginan untuk mencukur rambutnya. Biasanya si sanak ketika sudah bisa berbicara akan ditanya oleh orangtuanya mau minta apa bila rambutnya dicukur. Bila si anak sudah bisa bicara dia akan menjawab secara spontan permintaan itu dan akan dikasihkan ketika upacara ruwat dilaksanakan. Namun meski sudah ada permintaan ruwatan belum bisa dilaksanakan bila si anak belum mau dipotong rambutnya untuk dilarung di telaga yang bermuara ke Pantai Selatan, yaiu dikembalikan kepada pemiliknya.

Rambut gembel adalah pemberian yang tidak bisa diminta dan tidak bisa ditolak. Mbah Rusmanto mengaku, dia pernah melakukan semedi berhari-hari di tempat-tempat keramat untuk meminta diberikan cucu yang berambut gembel, alasannya, bila ada peneliti atau mahasiswa yang sedang menulis rambut gembel dia akan dapat dengan mudah menunjukkannya, namun permintaan tersebut tidak juga dikabulkan hingga sekarang. Namun dulu, anak-anak dan istri Mbah Rusmanto adalah anak Gembel.


Mbah Rusmanto
Sedangkan Mbah Naroyono, dia diberi keturunan tiga anak yang semuanya berambut gembel. Anak pertamanya yang laki-laki lahir pada tahun 1973 dia meminta ondol-ondol (makanan dari singkong yang di tengahnyaditaruh gua jawa, berbentuk bulat digoreng), sedangkan anak keduanya perempuan yang lahir pada 1876 waktu dicukur dia minta ikan tongkol dua ekor dan buah sawo satu kg, terakhir anaknya perempuan yang lahir pada tahun daging iris berjumlah 100 irisan.

Mbah Naroyono dulu juga berambut gimbal, waktu dicukur permintaan yang diajukannya adalah kambing satu ekor.

Dulu ruwatan anak rambut gembel dilaksanakan sendiri oleh masing-masing keluarga. Saat ini upacara adat tersebut sering dilakukan untuk tujuan wisata budaya, pemda Wonosobo dalam rangka HUT-nya yaitu Birat Sengkolo, seringkali mengadakan acara cukur rabut gembel secara massal yang diikuti oleh sekitar 7-12 anak rambut gembel, juga Dieng Culture Festival yang dilaksanakan independen oleh komunitas pecinta Dieng juga mengangkat acara ruwatan rambut gembel sebagai atraksi wisata, namun banyak juga keluarga yang merasa gengsi bila anak-anak gembelnya dicukur secara massal, mereka lebih suka untuk melaksanakan sendiri dengan mengadakan selamatan secara sederhana di rumah.(*)


Dieng Plateu, Wonosobo, Jawa Tengah

1 comment:

  1. mantap...lanjutkan mbak menulis artikel2 yang ada di negeri kita ini👍👍

    ReplyDelete