Zarlina Sayla Natania sedang asyik bermain dengan teman-teman sebayanya.
Bocah usia 6 tahun, yang akrab disapa Lilin itu masih belum menapaki dunia
pendidikan. Rencananya tahun ini, dia akan terdaftar sebagai salah satu murid
di sekolah dasar.
Rambut Gembel, fenomena alam di tengah masyarakat Dieng
Di
antara teman-teman sebanyanya, gadis kecil yang akrab disapa Lilin itu tampak
biasa saja. Tidak ada perbedaan yang mencolok, ketika anak-anak berlari main
kejar kejaran, Lilin berbaur tanpa canggung, bercanda, tertawa bersama bersama
teman-teman sekampungya di Desa Dieng Kulon.
Siang
menjelang sore itu gadis cilik yang pemberani bergabung dengan tim kita di
rumah sesepuh Dieng Kulon Mbah Naroyono. Lilin yang pemberani namun masih
malu-malu mengeluarkan suara itu menjawab semua pertanyaan yang ditujukan
kepadanya. “Lilin ini ndak seperti anak yang lain, dia
pemberani dan mau difoto. Tapi nanti tolong ya, kasih dia permen atau uang
untuk membeli permen,” pesan Mbah Naroyono sebelum memanggil Lilin tadi untuk
bergabung.
Lilin
yang ditemani nenek kecilnya (adik dari sang ibu) Tarmini (30) langsung suka
ketika di foto, dan membolehkan kita untuk menyentuh rambutnya yang
gimbal/gembel.
Berbeda
dengan anak-anak lain yang memiliki rambut halus lurus maupun ombak, Lilin
memiliki tekstur rambut yang kasar. Sebenarnya rambut Lilin cenderung ombak, namun
yang membuatnya berbeda, rambut lilin terkait satu sama lain (mbentuk jalinan
seperti gaya dried lock kaum rastafara-alm Mbah Surip).
Bahkan di bagian belakang ada gumpalan padat yang menonjol dan mengikat rambut
secara alami. “Rambutnya tetap seperti ini meskipun di-sampoin kalau
mandi,” ujar Tarmini.
Lilin
tidak sendirian, menurut mbah Naroyono, saat ini masih ada sekitar 30 anak yang
memiliki rambut gembel seperti itu. Memang di wilayah Dieng, lazim ditemukan
anak-anak berambut gembel yang secara mistis dipercayai oleh warga sebagai
sesuatu yang istimewa. Rambut gimbal/gembel ini dipercaya hanya
dimiliki oleh anak-anak dari keturunan Dieng Asli, namun dalam kenyataan ada
beberapa anak dari suku bangsa lain yang konon pernah meminta nasihat kepada
mbah Naroyono karena mendapatkan rambut gimbal seperti anak-anak dieng.
Bahkan
menurut Mbah Rusmanto, ada orang Padang yang mendatanginya untuk berkonsultsi
tentang rabut gembel yangg dimilikinya. Orang Padang tersebut kebetulan membuka
usaha warung di Semarang, dan suatu ketika di rambutnya tumbuh gembel seperti
yang dimiliki oleh anak-anak di Dieng. Bahkan ketika dia mencoba mencukurnya
sendiri rambut-rambut gembel itu tumbuh kembali. Hingga akhirnya dia menyerah
dan mendengar kalau di Dieng ada cara tertentu untuk menghilangkan rambut
gembel seperti itu.
Dan
datanglah dia ke Mbah Rusmanto, yang kemudian ditanya: “Itu si Gembel minta
apa?” setelah dijawab dan diberitahu tata upacara dan perlengkapan sesajinya,
kemudian orang Padang itu pun mendapatkan ruwat dan melarung rambutnya. Hingga
kini, konon katanya orang tersebut sudah terbebas dari rambut gembel.
Kembali
ke anak rambut gembel di Dieng, mereka ternyata mendapat perlakuan lebih
istimewa dibandingkan teman-teman sebayanya yang lain, misalnya orangtua akan
menuruti semua keinginannya. Bahkan, menurut Mbah Naroyono, anak rambut gembel
cenderung manja dan nakal.
Perlakuan
istimewa orangtua terhadap anak berambut gimbal/gembel ini merujuk pada hal-hal
yang dialami oleh anak-anak tersebut. Yakni bahwa kemunculan rambut gembel
tidak serta-merta ada, melainkan, seorang anak yang akan mendapatkan rambut
gimbal/gembel, dia aka mengalami sakit berkepanjangan dan tak kunjung sembuh
dengan upaya pengobatan yang telah dilakukan oleh orangtua dan
saudara-saudaranya. Badan anak tersebut akan panas dan menangis sepanjang waktu
bahkan sampai ndremimil (mengigau), kejang-kejang, dengklingen (geringen/kurus
kering). Kondisi semacam ini akan dialami hingga berhari-hari, minggu bahkan
bulan. “Kalau situasinya seperti ini, sang orangtua sudah merasa bahwa anaknya
akan tumbuh rambut gimbal –lah, kowe meh entuk rambut gembel iki—,”
ungkap Mbah Naroyono.
Mbah Naroyono
Dengan
keyakinan tersebut menurut Mbah Naroyono, orangtua bisa mendapat ketenangan,
bahwa sakitnya sang anak adalah karena akan tumbuh gembel di rambutnya. Di
kalangan masyarakat Dieng rambut gembel dipercaya merupakan titipan orang dari
Samudera Kidul (Selatan). Orang ini dipercaya seabagi cikal bakal terbentuknya
wilayah Dieng sebagai sebuah kawasan. Banyak versi cerita yang beredar di
kalangan masyarakat bahkan para peneliti yang pernah mendalami masalah sejarah
di Dieng, namun semua cerita tentang cikal bakal pendiri Dieng, mengarah kepada
orang yang bernama Eyang , yang makamnya ada di Gunung Kendil di kawasan Dieng.
Dan
menurut cerita, anak-anak gembel ini adalah anak-anak yang terpilih untuk
menjadi santapan Bathara Kala, sehingga gembel yang tidak bisa dihilangkan
dengan sembarangan, harus melalui upacara ruwat untuk menghilangkan gembel,
agar tidak dimangsa oleh Bathara Kala.
Tradisi
ruwatan dilaksanakan ketika si anak rabut gembel sudah memiliki keinginan untuk
mencukur rambutnya. Biasanya si sanak ketika sudah bisa berbicara akan ditanya
oleh orangtuanya mau minta apa bila rambutnya dicukur. Bila si anak sudah bisa
bicara dia akan menjawab secara spontan permintaan itu dan akan dikasihkan
ketika upacara ruwat dilaksanakan. Namun meski sudah ada permintaan ruwatan
belum bisa dilaksanakan bila si anak belum mau dipotong rambutnya untuk
dilarung di telaga yang bermuara ke Pantai Selatan, yaiu dikembalikan kepada
pemiliknya.
Rambut
gembel adalah pemberian yang tidak bisa diminta dan tidak bisa ditolak. Mbah
Rusmanto mengaku, dia pernah melakukan semedi berhari-hari di tempat-tempat
keramat untuk meminta diberikan cucu yang berambut gembel, alasannya, bila ada
peneliti atau mahasiswa yang sedang menulis rambut gembel dia akan dapat dengan
mudah menunjukkannya, namun permintaan tersebut tidak juga dikabulkan hingga
sekarang. Namun dulu, anak-anak dan istri Mbah Rusmanto adalah anak Gembel.
Mbah Rusmanto
Sedangkan
Mbah Naroyono, dia diberi keturunan tiga anak yang semuanya berambut gembel.
Anak pertamanya yang laki-laki lahir pada tahun 1973 dia meminta ondol-ondol
(makanan dari singkong yang di tengahnyaditaruh gua jawa, berbentuk bulat
digoreng), sedangkan anak keduanya perempuan yang lahir pada 1876 waktu dicukur
dia minta ikan tongkol dua ekor dan buah sawo satu kg, terakhir anaknya
perempuan yang lahir pada tahun daging iris berjumlah 100 irisan.
Mbah
Naroyono dulu juga berambut gimbal, waktu dicukur permintaan yang diajukannya
adalah kambing satu ekor.
Dulu
ruwatan anak rambut gembel dilaksanakan sendiri oleh masing-masing keluarga.
Saat ini upacara adat tersebut sering dilakukan untuk tujuan wisata budaya,
pemda Wonosobo dalam rangka HUT-nya yaitu Birat Sengkolo, seringkali mengadakan
acara cukur rabut gembel secara massal yang diikuti oleh sekitar 7-12 anak
rambut gembel, juga Dieng Culture Festival yang dilaksanakan independen oleh
komunitas pecinta Dieng juga mengangkat acara ruwatan rambut gembel sebagai
atraksi wisata, namun banyak juga keluarga yang merasa gengsi bila anak-anak
gembelnya dicukur secara massal, mereka lebih suka untuk melaksanakan sendiri
dengan mengadakan selamatan secara sederhana di rumah.(*)
Dieng Plateu, Wonosobo, Jawa Tengah
mantap...lanjutkan mbak menulis artikel2 yang ada di negeri kita ini👍👍
ReplyDelete