Sunday, May 10, 2015

Elizza Kisyya, Tokoh Inspiratif dari Haruku

Dengan petikan ukelele kesayangannya, Elizza Kissya mendendangkan lagu “Ikang Lompa” yang menurutnya ditulis bersama anak-anak yang sering nongkrong di pinggir pantai di depan Monumen Patung Latuharhary yang menjadi pusat rekreasi warga Haruku. Di tempat itu pula tumbuh satu pohon beringin yang rindang, bersebelahan dengan monumen Kalpataru kebanggaan warga yang diterima desa ini pada 1985 silam.


Pendekar Lingkungan Haruku Eli Kissya menyanyi saat menyambut tetamu yang berkunjung ke kampungnya.

Laki-laki sederhana berusia 65 tahun yang akrab disapa Om Eli itu tampak bersemangat mendendangkan lagu yag menceritakan tradisi dan kekayaan alam Haruku. Om Eli itu adalah kepala kewang (polisi hutan) di Negeri Haruku, Pulau Haruku, Maluku. Negeri adalah sebutan lain dari ”desa” di Maluku bagian tengah yang meliputi Pulau Ambon, Pulau Seram, dan Pulau-pulau Lease.

Pulau Haruku ditempuh hanya dalam waktu 20 menit dari Tulehu, Ambon. Meski hanya berjarak sepelemparan batu, Haruku masih murni bak mutu manikam yang belum diasah. Kelestarian alam terjaga, pun demikian adat tradisi yang secara turun temurun dilaksanakan oleh penduduk yang sehari-harinya bekerja di ladang yang mereka sebut dusong yang lokasinya berada di hutan atau ewang. Namun ketika musim sedang bersahabat, para pekerja keras ini akan beralih menjadi nelayan untuk memenuhi kebutuhan protein mereka.


Monumen Kalpataru kebanggaan warga.

Orang-orang yang sederhana ini menggambarkan kekayaan negerinya dalam bait-bait syair lagu “ikang Lompa” yang selalu dibawakan oleh Om Eli saat berbicara di berbagi forum baik di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta dan Yogyakarta, juga forum-forum internasional tentang kelestarian lingkungan di Haruku.

“Orang bilang ada ikang lompa balumpa
Di air cabang dua ya Nona
Di kampong Haruku
Kalau seng percaya
Datang sandiri lalo lia
Carita ini sudah nyata
Sio dari doloe....”

“Ale singgah di pante
Ale angka muka
Tiacigi satu tugue
Mester Yohanis Latuharhary
Pejuang bangsa
Di kanan ada buaya tatanang Kalpataru
Siohale
Satu lambang kebanggaan Beta

Reff:

Benteng badiri ta miring-miring
Dipukul ombak seng jadi-jadi
Sama orang bilang balanda maboe

Adalai di sana orang bisa mandi
Di kolam air panase
Bisa rabus kasbi jadi lombo
Sama bubure
Dan juga ada karang laut
Bajejer kiri kanan sioh ale
Deng paser putih
Putih manyalae”

Elizza Kissya adalah putera daerah yang lahir di Haruku pada 12 Maret 1949. Sehari-hari bekerja sebagai tani nelayan. Secara formal, dia hanya mengecap pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), tetapi sempat mengikuti banyak pendidikan non-formal, antara lain Pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989), Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh WALHI & Yayasan Hualopu (1991), Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992) dan Latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).

Dalam kedudukannya sebagai Pemangku atau Kepala Pelaksana Adat (Kewang) Desa negeri Haruku, terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional, antara lain pada Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) serta Simposium Sumberdaya Hukum Lingkungan & Seminar Hukum Adat Kelautan di Universitas Pattimura, Ambon (1991).


Rapat Kewang, penjaga adat istiadat Haruku

Om Eli memulai kiprahnya sejak 1979, bersama masyarakat dan Raja (Kepala Desa) Haruku saat itu, Berthy Ririmase, mereka menghidupkan kembali lembaga dan hukum adat daerahnya untuk mengelola lingkungan hidup secara lestari, terutama penyempurnaan hukum sasi (larangan adat) untuk melindungi populasi dan habitat ikan lompa (Trisina baelama) di perairan Haruku. Untuk kepeloporannya ini, Kantor Menteri Negara Kependudukan & Lingkungan Hidup menganugerahkan penghargaan tertinggi nasional di bidang lingkungan hidup, Hadiah Kalpataru, pada tahun 1985.

Sampai kini, Om Eli tetap gigih melakukan penghijauan di pesisir pantai Haruku untuk mengembangkan kawasan habitat burung maleo. Juga aktif menentang pemboman ikan dan terumbu karang serta pengerukan kerikil pantai di Haruku yang bahkan sampai ke tingkat pengadilan.

Sebagai seorang kewang, Om Eli tak peduli walau pekerjaannya penuh tekanan, berisiko tinggi, dan tak menghasilkan gaji. Kecintaan Elizza Kissya untuk melestarikan lingkungan dan adat di Pulau Haruku justru mengalahkan ketakutan dan stres yang dialaminya selama ini.

Menjadi kepala kewang, tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Profesi itu seharusnya jatuh ke tangan sang kakak. Namun, karena kakaknya telah menjadi sekretaris desa, maka ia yang ditunjuk mewakili marganya untuk menjadi kewang. Tanggung jawab untuk melestarikan adat leluhur menjadi dorongan kuat baginya.

Tugas sebagai kepala kewang bukanlah hal mudah. Meskipun namanya polisi hutan, kewang di Negeri Haruku bukan hanya bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan, melainkan juga menjaga kelestarian sumber daya laut. Kewang juga berkewajiban menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara norma susila, serta menegakkan hukum adat atas setiap pelanggaran aturan yang ada sejak zaman nenek moyang mereka. Tantangan terberatnya sebagai seorang pemangku adat adalah tidak adanya pengakuan legal pemerintah atas sistem adat yang berlaku di negerinya.

Pemberlakuan sistem desa di masa Orde Baru telah mengikis sebagian norma adat di sejumlah daerah, termasuk di Haruku. Runyamnya penghargaan dan pemahaman anak muda terhadap sistem adat yang berlaku di daerah sangatlah kurang. Demikian pula penghargaan mereka atas profesi para pemangku adat. Tidak berlebihan bila Elizza Kisyya cemas, siapa yang akan meneruskan tugas mulia yang kini diembannya.

Tugas seorang kewang memang berat. Untuk menjaga kelestarian sumber daya hayati di wilayah perairan di zaman modern ini, para kewang harus berhadapan dengan para nelayan yang menggunakan bom ikan dan pemakaian mata jaring yang dapat menangkap benih-benih ikan. Padahal, peralatan kewang sangatlah minim. Apalagi kewenangannya yang sangat terbatas membuat para kewang Haruku tidak dapat memberi sanksi kepada nelayan dari desa lain. Untuk menjaga ketertiban masyarakat, para kewang tidak hanya berpatroli keliling desa, tetapi juga harus menyelenggarakan peradilan adat untuk menghukum mereka yang melanggar ketentuan adat.

Masa-masa sulit yang dihadapi Eli adalah saat ia harus menjadi saksi dalam persidangan di pengadilan negeri atas kasus penangkapan ikan dengan bom. Selain menghadapi tekanan, Eli harus dikecewakan dengan vonis ringan yang dijatuhkan pengadilan terhadap perusak lingkungan tersebut. Upaya yang ia lakukan bersama para kewang lainnya terasa sia-sia.


Bersantai di depan Totu Resort.


Bercermin dari kasus itu, Eli mengubah langkahnya. Seiring usia yang semakin matang, Eli memilih menggunakan cara-cara yang lebih lembut dalam menjaga kelestarian lingkungan. Menanamkan pentingnya arti lingkungan kepada masyarakat, terutama kaum muda, menjadi pilihan perjuangan Ely saat ini. ”Saya hanya berharap anak-anak muda untuk mencintai lingkungannya,” katanya.(*) 

2 comments:

  1. Hi Titi,
    Bisa saya minta tolong, bagaimana cara menghubungi Om Eli? atau Totu resort di pulau Haruku? Kebetulan kami akan berkunjung ke ambon dan sekitarnya bulan depan. Terima kasih atas bantuannya. Salam. Maya

    ReplyDelete
  2. Hi Maya, sudah sy email kontaknya Om Eli yaa. Salam.

    ReplyDelete