Dengan petikan ukelele
kesayangannya, Elizza Kissya mendendangkan lagu “Ikang Lompa” yang menurutnya
ditulis bersama anak-anak yang sering nongkrong di pinggir pantai di depan Monumen
Patung Latuharhary yang menjadi pusat rekreasi warga Haruku. Di tempat itu pula
tumbuh satu pohon beringin yang rindang, bersebelahan dengan monumen Kalpataru
kebanggaan warga yang diterima desa ini pada 1985 silam.
Pendekar Lingkungan Haruku Eli Kissya menyanyi saat
menyambut tetamu yang berkunjung ke kampungnya.
Laki-laki
sederhana berusia 65 tahun yang akrab disapa Om Eli itu tampak bersemangat
mendendangkan lagu yag menceritakan tradisi dan kekayaan alam Haruku. Om Eli
itu adalah kepala kewang (polisi hutan) di Negeri Haruku, Pulau Haruku, Maluku.
Negeri adalah sebutan lain dari ”desa” di Maluku bagian tengah yang meliputi
Pulau Ambon, Pulau Seram, dan Pulau-pulau Lease.
Pulau
Haruku ditempuh hanya dalam waktu 20 menit dari Tulehu, Ambon. Meski hanya
berjarak sepelemparan batu, Haruku masih murni bak mutu manikam yang belum
diasah. Kelestarian alam terjaga, pun demikian adat tradisi yang secara turun
temurun dilaksanakan oleh penduduk yang sehari-harinya bekerja di ladang yang
mereka sebut dusong yang lokasinya
berada di hutan atau ewang. Namun
ketika musim sedang bersahabat, para pekerja keras ini akan beralih menjadi
nelayan untuk memenuhi kebutuhan protein mereka.
Monumen Kalpataru kebanggaan warga.
Orang-orang
yang sederhana ini menggambarkan kekayaan negerinya dalam bait-bait syair lagu “ikang
Lompa” yang selalu dibawakan oleh Om Eli saat berbicara di berbagi forum baik
di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta dan Yogyakarta, juga
forum-forum internasional tentang kelestarian lingkungan di Haruku.
“Orang bilang ada ikang lompa balumpa
Di air cabang dua ya Nona
Di kampong Haruku
Kalau seng percaya
Datang sandiri lalo lia
Carita ini sudah nyata
Sio dari doloe....”
“Ale singgah di pante
Ale angka muka
Tiacigi satu tugue
Mester Yohanis Latuharhary
Pejuang
bangsa
Di
kanan ada buaya tatanang Kalpataru
Siohale
Satu
lambang kebanggaan Beta
Reff:
Benteng
badiri ta miring-miring
Dipukul
ombak seng jadi-jadi
Sama
orang bilang balanda maboe
Adalai di sana orang bisa
mandi
Di
kolam air panase
Bisa
rabus kasbi jadi lombo
Sama
bubure
Dan
juga ada karang laut
Bajejer kiri kanan sioh ale
Deng paser putih
Putih
manyalae”
Elizza
Kissya adalah putera daerah yang lahir di Haruku pada 12 Maret 1949.
Sehari-hari bekerja sebagai tani nelayan. Secara formal, dia hanya mengecap
pendidikan di Sekolah Rakyat (SR), tetapi sempat mengikuti banyak pendidikan
non-formal, antara lain Pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri
Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987), Latihan Budidaya Perikanan di
Politeknik Universitas Pattimura (1989), Latihan Analisa Dampak Lingkungan oleh
WALHI & Yayasan Hualopu (1991), Studi Banding Pertanian Lahan Kering di
Flores (1992) dan Latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).
Dalam
kedudukannya sebagai Pemangku atau Kepala Pelaksana Adat (Kewang) Desa negeri
Haruku, terlibat aktif dalam pertemuan-pertemuan regional, antara lain pada
Pertemuan Nelayan se-Indonesia Timur di Lombok (1989) serta Simposium
Sumberdaya Hukum Lingkungan & Seminar Hukum Adat Kelautan di Universitas
Pattimura, Ambon (1991).
Rapat Kewang, penjaga adat istiadat Haruku
Om
Eli memulai kiprahnya sejak 1979, bersama masyarakat dan Raja (Kepala Desa)
Haruku saat itu, Berthy Ririmase, mereka menghidupkan kembali lembaga dan hukum
adat daerahnya untuk mengelola lingkungan hidup secara lestari, terutama
penyempurnaan hukum sasi (larangan adat) untuk melindungi populasi dan habitat
ikan lompa (Trisina baelama) di
perairan Haruku. Untuk kepeloporannya ini, Kantor Menteri Negara Kependudukan
& Lingkungan Hidup menganugerahkan penghargaan tertinggi nasional di bidang
lingkungan hidup, Hadiah Kalpataru, pada tahun 1985.
Sampai
kini, Om Eli tetap gigih melakukan penghijauan di pesisir pantai Haruku untuk
mengembangkan kawasan habitat burung maleo. Juga aktif menentang pemboman ikan
dan terumbu karang serta pengerukan kerikil pantai di Haruku yang bahkan sampai
ke tingkat pengadilan.
Sebagai
seorang kewang, Om Eli tak peduli walau pekerjaannya penuh tekanan, berisiko
tinggi, dan tak menghasilkan gaji. Kecintaan Elizza Kissya untuk melestarikan
lingkungan dan adat di Pulau Haruku justru mengalahkan ketakutan dan stres yang
dialaminya selama ini.
Menjadi
kepala kewang, tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya. Profesi itu
seharusnya jatuh ke tangan sang kakak. Namun, karena kakaknya telah menjadi
sekretaris desa, maka ia yang ditunjuk mewakili marganya untuk menjadi kewang.
Tanggung jawab untuk melestarikan adat leluhur menjadi dorongan kuat baginya.
Tugas
sebagai kepala kewang bukanlah hal mudah. Meskipun namanya polisi hutan, kewang
di Negeri Haruku bukan hanya bertanggung jawab menjaga kelestarian hutan,
melainkan juga menjaga kelestarian sumber daya laut. Kewang juga berkewajiban
menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara norma susila, serta
menegakkan hukum adat atas setiap pelanggaran aturan yang ada sejak zaman nenek
moyang mereka. Tantangan terberatnya sebagai seorang pemangku adat adalah tidak
adanya pengakuan legal pemerintah atas sistem adat yang berlaku di negerinya.
Pemberlakuan
sistem desa di masa Orde Baru telah mengikis sebagian norma adat di sejumlah
daerah, termasuk di Haruku. Runyamnya penghargaan dan pemahaman anak muda
terhadap sistem adat yang berlaku di daerah sangatlah kurang. Demikian pula
penghargaan mereka atas profesi para pemangku adat. Tidak berlebihan bila Elizza
Kisyya cemas, siapa yang akan meneruskan tugas mulia yang kini diembannya.
Tugas
seorang kewang memang berat. Untuk menjaga kelestarian sumber daya hayati di
wilayah perairan di zaman modern ini, para kewang harus berhadapan dengan para
nelayan yang menggunakan bom ikan dan pemakaian mata jaring yang dapat
menangkap benih-benih ikan. Padahal, peralatan kewang sangatlah minim. Apalagi
kewenangannya yang sangat terbatas membuat para kewang Haruku tidak dapat
memberi sanksi kepada nelayan dari desa lain. Untuk menjaga ketertiban
masyarakat, para kewang tidak hanya berpatroli keliling desa, tetapi juga harus
menyelenggarakan peradilan adat untuk menghukum mereka yang melanggar ketentuan
adat.
Masa-masa
sulit yang dihadapi Eli adalah saat ia harus menjadi saksi dalam persidangan di
pengadilan negeri atas kasus penangkapan ikan dengan bom. Selain menghadapi
tekanan, Eli harus dikecewakan dengan vonis ringan yang dijatuhkan pengadilan
terhadap perusak lingkungan tersebut. Upaya yang ia lakukan bersama para kewang
lainnya terasa sia-sia.
Bersantai di depan Totu Resort.
Bercermin
dari kasus itu, Eli mengubah langkahnya. Seiring usia yang semakin matang, Eli
memilih menggunakan cara-cara yang lebih lembut dalam menjaga kelestarian
lingkungan. Menanamkan pentingnya arti lingkungan kepada masyarakat, terutama
kaum muda, menjadi pilihan perjuangan Ely saat ini. ”Saya hanya berharap
anak-anak muda untuk mencintai lingkungannya,” katanya.(*)
Hi Titi,
ReplyDeleteBisa saya minta tolong, bagaimana cara menghubungi Om Eli? atau Totu resort di pulau Haruku? Kebetulan kami akan berkunjung ke ambon dan sekitarnya bulan depan. Terima kasih atas bantuannya. Salam. Maya
Hi Maya, sudah sy email kontaknya Om Eli yaa. Salam.
ReplyDelete