Thursday, May 7, 2015

Tradisi Sasi di Haruku

IKANG LOMPA

Orang bilang ada ikang lompa balumpa
Di air cabang dua ya Nona
Di kampong Haruku
Kalau seng percaya
Datang sandiri lalo lia
Carita ini sudah nyata
Sio dari doloe


Ale singgah di pante
Ale angka muka
Tacigi satu tugue
Mester Yohanis Latuharhary
Pejuang bangsa
Di kanan ada buaya tatanang Kalpataru
Siohale
Satu lambang kebanggaan Beta

Reff:

Benteng badiri ta miring-miring
Dipukul ombak seng jadi-jadi
Sama orang bilang balanda maboe

Adalai di sana orang bisa mandi
Di kolam air panase
Bisa rabus kasbi jadi lombo
Sama bubure
Dan juga ada karang laut
Bajejer kiri kanan sioh ale
Deng paser putih

Putih manyalae


TRADISI SASI , Kearifan Lokal untuk Menjaga Lingkungan Hidup

Sebuah tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun, dipegang keaslian aturan-aturannya, secara tidak disadari adalah sebuah hukum yang dapat menata kehidupan masyarakat agar tetap langgeng dan lestari. Seperti sebuah tradisi di Haruku, Maluku Tengah. Larangan-larangan tentang berbagai hal, membawa penghargaan Kalpataru sebagai sebuah kebanggaan bagi mereka.


Nelayan menjadi mata pencaharian utama masyarakat Desa Haruku di Maluku
Desa Haruku terletak di Pulau Haruku yang berada di antara pulau Ambon dan Saparua. Desa ini dapat ditempuh dari Kota Ambon melalui pelabuhan kecil di Tulehu yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan roda empat. Dari Tulehu, perjalanan dilanjutkan dengan menumpang speedboat kapasitas enam orang plus dua crew dengan waktu tempuh sekira 20 menit.

Perairan di Selat Haruku ini aman untuk kapal-kapal kecil, namun pada musim pasang, gelombang besar siap menghadang para penyeberang, cukup untuk menguji nyali para penumpang.

Keindahan pulau Haruku langsung terlihat begitu kaki menginjakan pasir di tempat pendaratan. Ada pelabuhan utama di Desa Haruku yakni di depan gereja Haruku yang merupakan landmark desa atau tempat berkumpulnya masyarakat, utamanya para pemuda dan anak-anak. Mereka biasa duduk-duduk santai di saat udara cerah selepas kegiatan sekolah atau bekerja, yakni pada sore hingga petang hari.


Patung Latuharhary menghadap laut. Pahlawan kebanggaan warga setempat.

Di depan gereja desa yang masih dalam tahap pembangunan itu tumbuh pohon beringin besar yang di bawahnya dibangun plester semen mengelilingi pohon di mana warga  dapat memanfaatkannya sebagai tempat duduk dan kongkow.

Sementara di sisi kiri depan menghadap pantai, menjulang patung Gubernur Maluku pertama MRJ Latuharhary yang merupakan putera daerah kebanggaan Haruku. Di monumen tersebut tertulis nama sang Gubernur yang lahir pada 6 Juli 1900 dan wafat pada 8 Nopember 1959. Latuharhary menjabat sebagai Kepala Daerah Maluku pada 1945-1955.

Di sisi sebelah kanan bersebelahan dengan kantor kepala desa (Baileo Negeri), terdapat satu monumen lagi yang menjadi kebanggaan warga masyarakat adat Haruku. Di sana berdiri megah patung seekor buaya yang di punggungnya terdapat lima ekor lompa dan pohon simbol kalpataru. Buaya tersebut berada di atas simbol Negeri Haruku yang bertuliskan Pelasona Nunuroko bergambarkan bunga kuning dengan dedaunan yang melingkar. Patung buaya inilah yang mewakili legenda tentang ikan lompa yang dikenal dengan pemberlakukan ritual tutup dan buka sasi lompa.


Baileo yang sekaligus menjadi kediaman Kewang

Di bawah patung tersebut terdapat keterangan makna monumen yang berdiri tersebut. Bagi para pendatang, monumen ini cukup menjadi penunjuk bahwa masyarakat Haruku pernah menerima penghargaan pemerintah untuk upaya pelestarian lingkungan hidup yaitu Kalpataru. Di bawah monumen itu tertulis tanggal peghargaan diberikan yaitu pada 5 Juni 1985.

Keberadaan monumen itu langsung menjadi pemicu pertanyaan, apa yang telah dilakukan masyarakat desa ini sehingga mampu meraih penghargaan bergengsi di bidang lingkungan itu?
Dari hasil kunjungan penulis ke Haruku selama 10 hari, menyelami kehidupan dan mengobrol dengan masyarakat di lokasi, mampu mengungkap upaya pelestarian lingkungan yang berbasiskan kearifan lokal oleh warga Negeri Haruku. Nilai-nilai itu terkandung dalam pelestarian alam lingkungan yang dikemas dalam bungkus kearifan lokal.

Bahwa sebagai penduduk pulau kecil yang tentu saja secara geografis sangatlah terbatas, eksploitasi alam tidak boleh dilaksanakan dengan semena-mena. Untuk pencegahan itulah, maka para tetua di Haruku menerapkan sasi yaitu larangan-larangan yang bertujuan untuk menerapkan regulasi dalam mengambil kekayaan alam, untuk kelangsungan hidup mereka.


Tanjung Totu
Setelah melakukan kontak dengan pemimpin adat dari Negeri Haruku, yakni Kewang Darat Eliza Kissya, rombongan diarahkan untuk menginap di Totu Resort, yang merupakan tempat bersejarah di Negeri (Desa) Haruku pada saat terjadinya kerusuhan di Ambon.


Totu Resort

Totu resort berada sekira 5 km dari pusat Negeri Haruku. Pendatang dari Ambon bisa langsung mendarat di Tanjung Totu dan langsung naik ke resort yang memiliki % kamar tamu dan satu balai pertemuan dengan kamar mandi yang berjejer rapi di bagian belakang. Untuk mencapai pusat Negeri Haruku bisa dilakukan dengan berjalan kaki melewati jalan setapak dengan sisa aspal yang sudah hancur di beberapa bagian. Namun untuk saat ini ada ojek yang siap mengantar dengan tarif Rp 5.000.


Eliza Kissya, Kewan Darat juga Pemilik dan Pengelola Totu Resort

Secara ekonomi, kehadiran Totu Resort ini diharapkan akan menjadi sebuah mata pencaharian baru bagi masyarakat sekitar. Namun sayang, resort ini mengalami perkembangan  yang sangat lambat. Sebab infrastruktur yang minim ditambah dengan kurangnya promosi untuk menjual Totu sebagai tempat wisata. Tujuan itu pun masih tersendat hingga kini. Menurut pengelola Kewang Eli, tempat ini jarang sekali digunakan semenjak berdiri, hanya ada beberapa pertemuan masyarakat adat yang pernah menjadi tamu. Itu pun tidak tentu waktunya. Bisa dikatakan tempat ini sering menganggur daripada diisi oleh tetamu.

Mata Pencaharian
Masyarakat Negeri Haruku menyandarkan hidup pada alam sekitar. Ada dua wilayah besar yang menjadi sumber mata pencaharian mereka yaitu darat dan laut. Dua wilayah ini merupakan sumber penghidupan yang tidak pernah habis, alam menyediakan kebutuhan makanan bagi setiap orang yang hidup di pulau ini.



Eli Ririmasse, Kewang Laut, sepulang dari mencari ikan.

Darah petani dan nelayan menyatu dalam setiap penduduk dewasa yang telah memiliki kewajiban untuk bekerja. Laut menyediakan kebutuhan protein hewani. Nelayan mencari ikan di sekitar perairan selat Haruku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten). Berangkat pagi sekitar jam 06.00 -12.00 WITA. Dengan menggunakan perahu  ketinting dan pancing, mereka akan mendapatkan ikan yang cukup untuk dikonsumsi bersama keluarga, dan sebagian dijual oleh tetangga ketika mereka kembali ke rumah. Untuk ikan cakalang ukuran sekira 30 cm per ekor dihargai Rp10.000.

Sekali tangkap, seorang nelayan berhasil membawa pulang 6-10 ekor ikan. Biasanya mereka mendapakan beberapa jenis ikan yaitu cakalang, momar, parang-parang, dan mata damar. Jenis ikan ini merupakan ikan permukaan yang ditangkap dengan umpan buatan yang menyerupai bulu ayam (artifisial).

Namun ketika musim bagus, para nelayan ini akan mencari ikan lebih jauh lagi yaitu di sekitar Laut Banda. Di tempat inilah para nelayan akan berburu ikan tuna. Jika sedang beruntung mereka akan mendapatkan satu ekor tuna seberat 60-100 kg. Ikan tersebut akan dibawa ke pasar di Tulehu untuk dijual. Semy Ferdinandus, narasumber yang seorang nelayan ini mengaku pendapatan nelayan Haruku tidak sebesar nelayan dari Negeri tetangga karena kalah peralatan. “Nelayan Haruku menggunakan ketinting yang hanya sepanjang sekitar 5 meter, nelayan lain yang menggunakan kole-kole (lebih besar dengan mesin johnson yang lebih cepat) mereka akan menangkap ikan lebih banyak. Sedangkan kami hanya satu ikan besar saja sudah memenuhi ketinting kecil kami,” ungkap Semy.

Menurut Semy, nelayan yang menggunakan kole-kole juga lebih unggul, selain dapat mencapai Tulehu dengan lebih cepat, tuna yang mereka tangkap juga dapat langsung diloying (dibersihkan, dipotong kotak-kotak/fillet, dan dikemas) harga jual pun menjadi lebih tinggi. Nelayan Kole-Kole ini kebanyakan berasal dari berasal dari Banda dan Sangihe.

Ada sekitar 15 nelayan di Haruku yang memilih untuk menjadi spesialis memancing ikan tuna. Mereka melaut di saat musi Timur di mana air laut tenang dan aman. Untuk memancing tuna diperlukan pengetahuan yang cukup agar mendapatkan hasil yang bagus. Berbeda dengan memancing ikan untuk konsumsi harian, memancing tuna dibutuhkan pengetahuan dan teknik tersendiri. Tuna tidak bisa ditipu dengan ikan buatan atau ikan-ikanan plastik. Tuna hanya mau memakan umpan berupa cumi yang masih hidup dan mengeluarkan cairan tinta.

Nelayan tuna di Haruku telah menguasai teknik memancing tuna, yaitu dengan menggunakan cumi-cumi dan tinta. Sebelum memncing tuna, nelayan tuna akan mencari cumi-cumi di sekitar selat Haruku. Cara memancing tuna adalah dengan mengaitkan cumi-cumi yang sudah mati, kemudian di ujung agak ke atas diberi tinta yang disumbat dengan senar dan digulung dengan batu. Pada saat diturunkan sumbat akan lepas dan tinta terburai di air. Keluarnya tinta inilah yang akan menarik perhatian ikan tuna untuk menyambar umpan. Pengetahuan semacam ini didapakan dari hasil sharing atau berbincang dengan nelayan lain saat mereka bertemu baik di tengah laut maupun saat di pasar menjual hasil buruan mereka.

Para nelayan Haruku akan berganti pekerjaan di laut dan pergi ke hutan atau dusong ketika musim barat tiba yaitu sekitar bulan September hingga Desember. Pada saat seperti ini mereka menjadi petani. Namun khusus untuk Sagu yang juga menjadi makanan utama pemenuhan kebutuhan karbohidrat, akan diambil dari Dusong bila persediaan mereka habis. Tidak ada waktu tertentu dalam kebutuhan makanan pokok ini. Bila persediaan sagu habis, maka sang kepala ruahh tangga bersama dengan saudara laki-laki dan dibantu oleh beberapa perempuan akan pergi ke ladang mereka di ewang/dusong. Mereka akan memukul sagu. Proses pekerjaan ini akan memakan waktu sekitar dua minggu. Biasanya mereka akan memotong dua sampai tiga batang sagu yang sudah tua.

Bagi kaum perempuan ada satu saat yang terlarang untuk dihadiri yaitu ketika proses penuangan sagu yang sudah menjadi bubuk ke dalam tumang yaitu wadah yang dibuat dari daun pisang sebagai tempat penyimpanan terakhir. Masyarakat mempercayai bila proses inii dilihat oleh kaum perempuan, maka hasil sagu yang mereka peroleh akan berkurang.

Dalam tumang-tumang inilah sagu di simpan dan akan bertahan hingga berbulan-bulan asal kondisinya tetap kering. Di pasar di Tulehu, satu tumang dijual seharga Rp30.000,-
Namun masyarakat Haruku jarang menjul sagu sampe ke Tulehu, kebanyakan sagu mereka sudah ada yang membeli ketika dibawa ke rumah.

Selain sagu, pada saat musim barat, para nelayan ini akan menjadi petani cengkeh atau pala yang akan mereka kerjakan secara bersama-sama di Hutan (Ewang).

Kepemilikan tanah di haruku telah diatur dalam register yaitu berupa Tanah Dati dan Tanah Pusaka, setiap orang sudah mengetahui batas dan tanah atau dusong yang dimiliki oleh setiap keluarga atau soa.

Kisah Keluarga Haruku
Rabu, 11 Juni 2014, siang. Tim Peneliti Kearifan Lokal di Haruku bertandang ke rumah kewang Laut Eli Ririmasse, kedatangan tim disambut oleh anak perempuan Kewang yang mengatakan Bapak sedang ke Dusun (Dusong). Hari itu rupanya, mereka sedang pukul sagu di ladang mereka di hutan. Kami pun melnjutkan perjalanan hari itu ke rumah Bapak Raja yang tidak jauh dari rumah Kewang Laut itu. 


Istri Eli Ririmasse mengolah ikan hasil tangkapan, sebagian dimasak hari itu, sebagian lagi disimpan.

Pada Kesempatan Lain kami menunggu Bapak Eli yang sedang mencari ikan untuk persediaan lauk. Bapak Eli berangkat pukul 06.00 dan kembali sekitar pukul 12.00 WIT.

Bersama dengan anak perempuan dan tiga cucunya yang masih balita, kami menunggu Bapak Eli yang sudah tampak dengan perahu ketintingnya dari kejauhan. Kami menunggu di pantai belakang Balai Desa, tidak jauh dari monumen Latu Harhary di depan gereja Desa Haruku.
Di bibir pantai dibangun tembok setinggi sekitar 1,5 meter, di situlah kami duduk-duduk memandang laut lepas.

Melihat kami menunggu, Bapak Eli pun mengangkat hasil pancingan yang tampak lumayan buat persediaan lauk di rumah.

Para cucu dan anak perempuannya pun kemudian turun ke tepi pantai melihat Bapak Eli sudah merapatkan perahu ketintingnya di tanggul laut (talut). Disorongkannya ikan-ikan hasil tangkapan yang sudah dikumpulkan, hari itu didapatkan dua ekor matadamar yang berwarna kemerahan dengan mata bulat yang cukup lebar, dengan berat ikan sekitar 0,5kg, kemudian ikan tongkol dengan berat sekira 2kg 5 ekor, ikan parang-parang dengan panjang sekitar setengah meter.

Ikan-ikan itu pun langsung dibawa pulang, sementara Bapak Eli menambatkan perahunya di pantai dekat kuburan sekitar 200 meter sebalah kanan desa.

Sampai di rumah, ikan langsung ditauruh di para-para di luar dapur. Sudah tersedia satu ember air bersih dengan jeruk di dalamnya. Sebelum dibersihkan rupanya ada dua orang tetangga yang datang dn langsung membeli ikan tongkol mereka seekornya dihargai Rp10.000,-

Sisanya, ikan-ikan itu langsung dibersihkan dan dipotong-potong oleh istri Bapak Eli, yang katanya akan disimpan di kulkas milik adek mereka. Di rumah Bapak Eli tidak ada kulkas pendingin.

Menurut istri Bapak Eli, ikan ikan itu akan dimasak untuk bekal pukul sagu ke Dusong.
Dia juga memberikan setengah ikan tongkol (dibelah dua) untuk keluarga adiknya yang menerima titipan ikannya untuk disimpan. Biasanya ikan-kan tersebut dimasak santan untuk ikan parang-parang dan matadamar, sedangkan tongkol digoreng dan dimakan dengan sambal colo-colo atau dabu-dabu.

Sebelum ada kulkas, lemari pendingin, msyarakat Haruku menyimpan daging ikan dengan teknologi tradisional penyimpanan makanan yaitu daging di asar/diasap. Setelah daging diasap selama satu jam, daging bisa langsung dimakan, namun bila akn disimpan, maka daging akan dibiarkan menggantung kering di tempat pengasapan. Namun teknik semacam ini sudah jarang dilakukan.

Dapur orang Haruku memiliki keragaman yang khas, mereka memiliki para-para di dekat pintu masuk di depan para-para terdapat tumpukan batu yang berguna untuk membuang air cucian, air limbah akan menerap ke dalam batu dan kembali ke tanah, sedangkan kotoran yang ada dalam limbah itu akan tersangkut di batu, pada saat matahari mengeringkan batu-batu itu, maka kotoran yang menyangkut di batu dapat diambil dan dibuang ke tempat sampah kering.
Sistem ini bagus sehingga tidak ada comberan yang bau dan mengundang nyamuk. Dapur adalah tempat menyimpan segala peralatan penangkapan ikan, mulai jaring, keranjang ikan, bahkan mereka juga menyimpan atap berupa jalinan dari daun sagu di sisi luar dapur. Di sekitar dapur terdapat tanaman yang juga bisa dikonsumsi dan sebagai bumbu dapur, seperti pepaya, jeruk atau mereka sebut pohon lemong, nanas, dan beragam dedaunan yang bisa dimasak sayur.

Mereka juga memiliki satu tempat untuk kayu bakar, yang juga berguna untuk menyimpan berbagai bibit tanaman yang sedang mereka upayakan seperti tunas kelapa, bibit cengkeh, dan bibit pala.(*)



No comments:

Post a Comment