Friday, March 23, 2012

Ragunan di Manakah Para Penghunimu?

LIBUR Nyepi bagi umat Hindu memberikan kami bonus libur sehari. Meski papanya tetap masuk karena sudah libur sehari sebelumnya, anak- anak bersemangat mengajak liburan Jumat ini berkunjung ke Kebun Binatang Ragunan. Menuruti keinginan itu sedari pagi kami bersiap setelah kita bangun.

Di sepanjang perjalanan, celoteh anak-anak tak henti membayangkan bakal ketemu macam-macam binatang kesayangan mereka terutama gajah dan kuda.

Parkir di dekat pintu masuk Barat, kami membayar tiket yang cukup murah Rp 29 ribu untuk mobil dengan empat penumpang dewasa dan satu anak-anak. Mulai dari pintu masuk si bungsu cengar cengir karena sudah dirayu tukang foto amatir, merasa dirinya prencess yang sedang berkunjung ke tempat penting....
Anak-anak pun senang, binatang pertama yang menyambut adalah gajah favorit mereka, meski hanya satu di kandang yang begitu besar, dan andong yang ditarik dengan kuda!

"Lumayan juga wisata murah di Ragunan ya Ma," ujar si sulung. Aku hanya senyum simpul menanggapinya.
Ragunan seluas 140 hektar yang ditumbuhi sekira 50.000 pohon ini memang sejuk dan menyegarkan buat jalan-jalan.

Namun sebagai sebuah kebun binatang, tempat ini agak mengecewakan. Karena apa? Satwa yang menghuni tempat itu, kurang menonjol, malah menjadi penghuni minoritas di sana. Sebanyak satwa yang terdiri atas 292 spesies dengan sejumlah 4040 spesimen ternyata agak sulit untuk ditemukan.

Bahkan di kandang burung terlihat beda penghuni. Seperti di kandang burung Jalak Kerbau, di dalamnya malah terlihat seekor ayam jago..... Hmmmm

Semangat untuk berkeliling pun surut, apalagi di dua tempat kami temukan ular besar yang melingkar yang dijual sebagai objek foto oleh para pedagang, sepertinya bukan petugas resmi Ragunan. Nah!

Akhirnya kami putuskan masuk ke Pusat Primata Schmutzer. Lagi-lagi kami pun hanya menemukan sedikit primata di sana. "Barangkali mereka pada berteduh yaaa atau lagi makan," hibur si Sulung yang masih teringat, sewaktu dia usia limaan tahun pernah diajak ke tempat ini dan melihat banyak primata di situ.

Puas berkeliling dan beruntung menemui seekor anak primata yang sedang bercanda dengan mama papanya, kami pun keluar.

Si kecil yang sudah kecapekan mulai berulah, dia menangis minta gendong. Demi memuaskan rasa penasaran, kami pun naik andong yang ditarik kuda berkeliling. Tapi ternyata satu putaran itu tidaklah lama. Turun dari andong, saya bertanya ke Papa yang tak bisa naik karena andongnya hanya muat buat kami berempat, berapa tiketnya? "Limabelas ribu," jawabnya. Oo..... Muraaaah banget. Pantesan kelilingnya cuma sebentar....

Monday, February 6, 2012

Tempat Singgah nan Menawan

Menurut banyak orang, waktu kedatanganku tidak tepat. Saat itu, Januari adalah musim hujan, beruntung pagi itu tidak hujan, namun matahari tak menampakkan kehangatannya karena tertutup mendung. Hilanglah satu kesempatan tuk melihat keindahan sunrise di sana.
Kedua adalah lautan pasir yang basah, kurang memberi sensasi saat angin menerbangkan butiran-butirannya. Tapi di musim apa pun, bagiku Bromo tetap menarik. Sayangnya di musim seperti ini, kunjungan turis pun hanya bertahan satu malam saja. Datang ketika malam larut, pagi menikmati keindahan Bromo, mulai dari mengintip sunrise dari Pananjakan hingga mendaki 250 tangga terakhir menuju kawah (caldera) di mana setiap tahun penduduk setempat melakukan ritual Kasada di sana.
Setelah itu adalah sepi, tak heran turis akan segera angkat kaki, bagi para backpacker setelah petualangan dilakukan, mendapat foto-foto sebagai target perjalanan, mereka akan segera beranjak menuju tujuan berikutnya. Seperti pasangan Willy dan Charlie dari New Zealand yang malam itu naik satu angkutan dari Probolinggo ke Sukapura, mereka lari dari negaranya yang sedang terbungkus salju ke Indonesia yang panas. Bromo menjadi salah satu tujuan dari rangkaian kunjungannya ke Indonesia setelah Bali dan Lovina, Bromo menjadi tempat persinggahan satu malam sebelum lanjut ke Yogyakarta.

Friday, February 3, 2012

Pagi Hari di Bromo

Ketika hari mulai terang, aktivitas penduduk setempat mulai menggeliat. Deru motor menuruni tanjakan menuju ke lautan pasir mulai terdengar, mulai dari tukang bakso, penjual minuman, penjual suvenir, juga para penyedia jasa sewa kuda mulai mengawali hari .
Kembali kami dirayu untuk memilih kuda- kuda yang biasa disewa turis menuju ke ujung tangga di bawah kaldera. "Seratus ribu seorang, bolak- balik sampai hotel kembali...." Saat itu kami masih belum jauh dari hotel, asik dengan pemandangan wisatawan yang menyeberangi lautan pasir dan para pemilik kuda yang akhirnya memacu kudanya membelah lautan pasir.
Dari atas terlihat laksana semut yang merayap bergegas.
Sampailah ujung aspal menemani perjalanan kita.

Thursday, February 2, 2012

My Journey to Bromo

Early in the morning

Menikmati alam Bromo dimulai ketika hari masih gelap. Kegaduhan sudah terdengar saat mata terbangun dari tidur lelap setelah menempuh perjalanan lumayan berat dari Surabaya menuju Sukapura.
Suara derak sepatu yang diseret malas melawan dinginnya udara Bromo, dan bantungan pintu jeep wilis yang siap mengantarkan petualangan para turis pagi itu.
Jarum jam menunjukkan pukul 03 lewat, dini hari yang membekukan. Menghitung cuaca mendung, kami tak mau larut dalam kesibukan itu. Kemungkinan dapat matahari terbit kecil, mendung tak akan mengizinkan matahari menampakkan sinarnya yang membuat kagum wisatawan dari seluruh pelosok dunia.
Teringat rencana itu, selimut kembali ditarik melanjutkan mimpi yang sempat terpenggal. Namun niat itu tak kesampaian. Rasa penasaran untuk bercanda dengan alam Bromo tak berhasil melancarkan niat untuk tidur kembali.
Akhirnya setelah mengenakan jaket tebal dan sepatu kets, kubuka pintu kamar hotel yang baru semalam kudatangin, menurut penjaganya, vie kamarku menghadap lautan pasir dan Gunung Bromo yang tersohor. Tentu saja pemandangan itu belum terlihat, jarum jam serasa malas bergerak, saat itu waktu baru menunjuk pukul empat kewat.... Brrrrr dingin menusuk tulang....
Kuputuskan untuk bangunkan rekan-rekan dari Jakarta bergegas menuju kawah Bromo.
Dalam bungkusan kabut tebal, pelan- pelan kami turuni jalanan aspal mulus...bersama sepi.
Rombongan jeep menuju Pananjakan telah lama berlalu, beberapa penduduk asli menawarkan motor untuk kami sewa. "Naik motor aja Mbak, Mas, bisa dibawa sendiri kok kalo mau....," ujarnya merayu. Seratus ribu bolak-balik mbak gak mahal....
Karena hari masih terlalu gelap, kami tak menyambut tawaran itu, apalagi kita berniat menyusuri lautan pasir dengan jalan kaki.
Makin siang, pemandangan semakin bagus, tak henti- henti kami rekam keindahan itu ke kamera yang kami bawa.
Dreams comes true, itu yang kuucapkan berulang-ulang, keinginan lima tahun lalu terwujud hari itu senangnyaaa.....