IKANG LOMPA
Orang bilang ada ikang
lompa balumpa
Di air cabang dua ya Nona
Di kampong
Haruku
Kalau seng percaya
Datang sandiri
lalo lia
Carita ini sudah nyata
Sio dari doloe
Ale singgah di pante
Ale angka
muka
Tacigi satu tugue
Mester Yohanis Latuharhary
Pejuang bangsa
Di kanan ada buaya
tatanang Kalpataru
Siohale
Satu lambang kebanggaan Beta
Reff:
Benteng badiri
ta miring-miring
Dipukul ombak seng
jadi-jadi
Sama orang bilang balanda
maboe
Adalai di sana orang bisa mandi
Di kolam air panase
Bisa rabus kasbi
jadi lombo
Sama bubure
Dan juga ada karang laut
Bajejer kiri kanan sioh
ale
Deng paser putih
Putih manyalae
TRADISI
SASI , Kearifan Lokal untuk Menjaga Lingkungan Hidup
Sebuah
tradisi yang dilaksanakan secara turun temurun, dipegang keaslian
aturan-aturannya, secara tidak disadari adalah sebuah hukum yang dapat menata
kehidupan masyarakat agar tetap langgeng dan lestari. Seperti sebuah tradisi di
Haruku, Maluku Tengah. Larangan-larangan tentang berbagai hal, membawa
penghargaan Kalpataru sebagai sebuah kebanggaan bagi mereka.
Nelayan menjadi mata pencaharian utama masyarakat Desa Haruku di Maluku
Desa Haruku
terletak di Pulau Haruku yang berada di antara pulau Ambon dan Saparua. Desa
ini dapat ditempuh dari Kota Ambon melalui pelabuhan kecil di Tulehu yang
berjarak sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan roda empat. Dari Tulehu,
perjalanan dilanjutkan dengan menumpang speedboat kapasitas enam orang plus dua
crew dengan waktu tempuh sekira 20
menit.
Perairan di Selat Haruku ini
aman untuk kapal-kapal kecil, namun pada musim pasang, gelombang besar siap
menghadang para penyeberang, cukup untuk menguji nyali para penumpang.
Keindahan pulau Haruku langsung
terlihat begitu kaki menginjakan pasir di tempat pendaratan. Ada pelabuhan
utama di Desa Haruku yakni di depan gereja Haruku yang merupakan landmark desa atau tempat berkumpulnya
masyarakat, utamanya para pemuda dan anak-anak. Mereka biasa duduk-duduk santai
di saat udara cerah selepas kegiatan sekolah atau bekerja, yakni pada sore
hingga petang hari.
Patung Latuharhary menghadap laut. Pahlawan kebanggaan warga setempat.
Di depan gereja desa yang masih
dalam tahap pembangunan itu tumbuh pohon beringin besar yang di bawahnya
dibangun plester semen mengelilingi pohon di mana warga dapat memanfaatkannya sebagai tempat duduk dan
kongkow.
Sementara di sisi kiri depan menghadap
pantai, menjulang patung Gubernur Maluku pertama MRJ Latuharhary yang merupakan
putera daerah kebanggaan Haruku. Di monumen tersebut tertulis nama sang
Gubernur yang lahir pada 6 Juli 1900 dan wafat pada 8 Nopember 1959.
Latuharhary menjabat sebagai Kepala Daerah Maluku pada 1945-1955.
Di sisi sebelah kanan
bersebelahan dengan kantor kepala desa (Baileo Negeri), terdapat satu monumen
lagi yang menjadi kebanggaan warga masyarakat adat Haruku. Di sana berdiri
megah patung seekor buaya yang di punggungnya terdapat lima ekor lompa dan
pohon simbol kalpataru. Buaya tersebut berada di atas simbol Negeri Haruku yang
bertuliskan Pelasona Nunuroko bergambarkan bunga kuning dengan dedaunan yang
melingkar. Patung buaya inilah yang mewakili legenda tentang ikan lompa yang
dikenal dengan pemberlakukan ritual tutup dan buka sasi lompa.
Baileo yang sekaligus menjadi kediaman Kewang
Di bawah patung tersebut terdapat
keterangan makna monumen yang berdiri tersebut. Bagi para pendatang, monumen
ini cukup menjadi penunjuk bahwa masyarakat Haruku pernah menerima penghargaan
pemerintah untuk upaya pelestarian lingkungan hidup yaitu Kalpataru. Di bawah
monumen itu tertulis tanggal peghargaan diberikan yaitu pada 5 Juni 1985.
Keberadaan monumen itu langsung
menjadi pemicu pertanyaan, apa yang telah dilakukan masyarakat desa ini
sehingga mampu meraih penghargaan bergengsi di bidang lingkungan itu?
Dari hasil kunjungan penulis ke
Haruku selama 10 hari, menyelami kehidupan dan mengobrol dengan masyarakat di
lokasi, mampu mengungkap upaya pelestarian lingkungan yang berbasiskan kearifan
lokal oleh warga Negeri Haruku. Nilai-nilai itu terkandung dalam pelestarian
alam lingkungan yang dikemas dalam bungkus kearifan lokal.
Bahwa sebagai penduduk pulau
kecil yang tentu saja secara geografis sangatlah terbatas, eksploitasi alam
tidak boleh dilaksanakan dengan semena-mena. Untuk pencegahan itulah, maka para
tetua di Haruku menerapkan sasi yaitu larangan-larangan yang bertujuan untuk
menerapkan regulasi dalam mengambil kekayaan alam, untuk kelangsungan hidup
mereka.
Tanjung
Totu
Setelah melakukan kontak dengan
pemimpin adat dari Negeri Haruku, yakni Kewang Darat Eliza Kissya, rombongan
diarahkan untuk menginap di Totu Resort, yang merupakan tempat bersejarah di Negeri
(Desa) Haruku pada saat terjadinya kerusuhan di Ambon.
Totu Resort
Totu resort berada sekira 5 km
dari pusat Negeri Haruku. Pendatang dari Ambon bisa langsung mendarat di
Tanjung Totu dan langsung naik ke resort yang memiliki % kamar tamu dan satu
balai pertemuan dengan kamar mandi yang berjejer rapi di bagian belakang. Untuk
mencapai pusat Negeri Haruku bisa dilakukan dengan berjalan kaki melewati jalan
setapak dengan sisa aspal yang sudah hancur di beberapa bagian. Namun untuk saat
ini ada ojek yang siap mengantar dengan tarif Rp 5.000.
Eliza Kissya, Kewan Darat juga Pemilik dan Pengelola Totu Resort
Secara ekonomi, kehadiran Totu
Resort ini diharapkan akan menjadi sebuah mata pencaharian baru bagi masyarakat
sekitar. Namun sayang, resort ini mengalami perkembangan yang sangat lambat. Sebab infrastruktur yang
minim ditambah dengan kurangnya promosi untuk menjual Totu sebagai tempat
wisata. Tujuan itu pun masih tersendat hingga kini. Menurut pengelola Kewang
Eli, tempat ini jarang sekali digunakan semenjak berdiri, hanya ada beberapa
pertemuan masyarakat adat yang pernah menjadi tamu. Itu pun tidak tentu
waktunya. Bisa dikatakan tempat ini sering menganggur daripada diisi oleh
tetamu.
Mata
Pencaharian
Masyarakat Negeri Haruku
menyandarkan hidup pada alam sekitar. Ada dua wilayah besar yang menjadi sumber
mata pencaharian mereka yaitu darat dan laut. Dua wilayah ini merupakan sumber
penghidupan yang tidak pernah habis, alam menyediakan kebutuhan makanan bagi
setiap orang yang hidup di pulau ini.
Eli Ririmasse, Kewang Laut, sepulang dari mencari ikan.
Darah petani dan nelayan
menyatu dalam setiap penduduk dewasa yang telah memiliki kewajiban untuk
bekerja. Laut menyediakan kebutuhan protein hewani. Nelayan mencari ikan di
sekitar perairan selat Haruku untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (subsisten).
Berangkat pagi sekitar jam 06.00 -12.00 WITA. Dengan menggunakan perahu ketinting dan pancing, mereka akan
mendapatkan ikan yang cukup untuk dikonsumsi bersama keluarga, dan sebagian
dijual oleh tetangga ketika mereka kembali ke rumah. Untuk ikan cakalang ukuran
sekira 30 cm per ekor dihargai Rp10.000.
Sekali tangkap, seorang nelayan
berhasil membawa pulang 6-10 ekor ikan. Biasanya mereka mendapakan beberapa
jenis ikan yaitu cakalang, momar, parang-parang, dan mata damar. Jenis ikan ini
merupakan ikan permukaan yang ditangkap dengan umpan buatan yang menyerupai
bulu ayam (artifisial).
Namun ketika musim bagus, para
nelayan ini akan mencari ikan lebih jauh lagi yaitu di sekitar Laut Banda. Di
tempat inilah para nelayan akan berburu ikan tuna. Jika sedang beruntung mereka
akan mendapatkan satu ekor tuna seberat 60-100 kg. Ikan tersebut akan dibawa ke
pasar di Tulehu untuk dijual. Semy Ferdinandus, narasumber yang seorang nelayan
ini mengaku pendapatan nelayan Haruku tidak sebesar nelayan dari Negeri
tetangga karena kalah peralatan. “Nelayan Haruku menggunakan ketinting yang
hanya sepanjang sekitar 5 meter, nelayan lain yang menggunakan kole-kole (lebih
besar dengan mesin johnson yang lebih cepat) mereka akan menangkap ikan lebih
banyak. Sedangkan kami hanya satu ikan besar saja sudah memenuhi ketinting
kecil kami,” ungkap Semy.
Menurut Semy, nelayan yang
menggunakan kole-kole juga lebih unggul, selain dapat mencapai Tulehu dengan
lebih cepat, tuna yang mereka tangkap juga dapat langsung diloying
(dibersihkan, dipotong kotak-kotak/fillet, dan dikemas) harga jual pun menjadi
lebih tinggi. Nelayan Kole-Kole ini kebanyakan berasal dari berasal dari Banda
dan Sangihe.
Ada sekitar 15 nelayan di
Haruku yang memilih untuk menjadi spesialis memancing ikan tuna. Mereka melaut
di saat musi Timur di mana air laut tenang dan aman. Untuk memancing tuna
diperlukan pengetahuan yang cukup agar mendapatkan hasil yang bagus. Berbeda
dengan memancing ikan untuk konsumsi harian, memancing tuna dibutuhkan
pengetahuan dan teknik tersendiri. Tuna tidak bisa ditipu dengan ikan buatan
atau ikan-ikanan plastik. Tuna hanya mau memakan umpan berupa cumi yang masih
hidup dan mengeluarkan cairan tinta.
Nelayan tuna di Haruku telah
menguasai teknik memancing tuna, yaitu dengan menggunakan cumi-cumi dan tinta.
Sebelum memncing tuna, nelayan tuna akan mencari cumi-cumi di sekitar selat
Haruku. Cara memancing tuna adalah dengan mengaitkan cumi-cumi yang sudah mati,
kemudian di ujung agak ke atas diberi tinta yang disumbat dengan senar dan
digulung dengan batu. Pada saat diturunkan sumbat akan lepas dan tinta terburai
di air. Keluarnya tinta inilah yang akan menarik perhatian ikan tuna untuk
menyambar umpan. Pengetahuan semacam ini didapakan dari hasil sharing atau berbincang dengan nelayan
lain saat mereka bertemu baik di tengah laut maupun saat di pasar menjual hasil
buruan mereka.
Para nelayan Haruku akan
berganti pekerjaan di laut dan pergi ke hutan atau dusong ketika musim barat
tiba yaitu sekitar bulan September hingga Desember. Pada saat seperti ini
mereka menjadi petani. Namun khusus untuk Sagu yang juga menjadi makanan utama
pemenuhan kebutuhan karbohidrat, akan diambil dari Dusong bila persediaan
mereka habis. Tidak ada waktu tertentu dalam kebutuhan makanan pokok ini. Bila
persediaan sagu habis, maka sang kepala ruahh tangga bersama dengan saudara
laki-laki dan dibantu oleh beberapa perempuan akan pergi ke ladang mereka di
ewang/dusong. Mereka akan memukul sagu. Proses pekerjaan ini akan memakan waktu
sekitar dua minggu. Biasanya mereka akan memotong dua sampai tiga batang sagu
yang sudah tua.
Bagi kaum perempuan ada satu
saat yang terlarang untuk dihadiri yaitu ketika proses penuangan sagu yang
sudah menjadi bubuk ke dalam tumang yaitu wadah yang dibuat dari daun pisang
sebagai tempat penyimpanan terakhir. Masyarakat mempercayai bila proses inii
dilihat oleh kaum perempuan, maka hasil sagu yang mereka peroleh akan
berkurang.
Dalam tumang-tumang inilah sagu
di simpan dan akan bertahan hingga berbulan-bulan asal kondisinya tetap kering.
Di pasar di Tulehu, satu tumang dijual seharga Rp30.000,-
Namun masyarakat Haruku jarang
menjul sagu sampe ke Tulehu, kebanyakan sagu mereka sudah ada yang membeli
ketika dibawa ke rumah.
Selain sagu, pada saat musim
barat, para nelayan ini akan menjadi petani cengkeh atau pala yang akan mereka
kerjakan secara bersama-sama di Hutan (Ewang).
Kepemilikan tanah di haruku
telah diatur dalam register yaitu berupa Tanah Dati dan Tanah Pusaka, setiap
orang sudah mengetahui batas dan tanah atau dusong yang dimiliki oleh setiap
keluarga atau soa.
Kisah
Keluarga Haruku
Rabu, 11 Juni 2014, siang. Tim
Peneliti Kearifan Lokal di Haruku bertandang ke rumah kewang Laut Eli
Ririmasse, kedatangan tim disambut oleh anak perempuan Kewang yang mengatakan
Bapak sedang ke Dusun (Dusong). Hari itu rupanya, mereka sedang pukul sagu di
ladang mereka di hutan. Kami pun melnjutkan perjalanan hari itu ke rumah Bapak
Raja yang tidak jauh dari rumah Kewang Laut itu.
Istri Eli Ririmasse mengolah ikan hasil tangkapan, sebagian dimasak hari itu, sebagian lagi disimpan.
Pada Kesempatan Lain kami
menunggu Bapak Eli yang sedang mencari ikan untuk persediaan lauk. Bapak Eli
berangkat pukul 06.00 dan kembali sekitar pukul 12.00 WIT.
Bersama dengan anak perempuan
dan tiga cucunya yang masih balita, kami menunggu Bapak Eli yang sudah tampak
dengan perahu ketintingnya dari kejauhan. Kami menunggu di pantai belakang
Balai Desa, tidak jauh dari monumen Latu Harhary di depan gereja Desa Haruku.
Di bibir pantai dibangun tembok
setinggi sekitar 1,5 meter, di situlah kami duduk-duduk memandang laut lepas.
Melihat kami menunggu, Bapak
Eli pun mengangkat hasil pancingan yang tampak lumayan buat persediaan lauk di
rumah.
Para cucu dan anak perempuannya
pun kemudian turun ke tepi pantai melihat Bapak Eli sudah merapatkan perahu
ketintingnya di tanggul laut (talut). Disorongkannya ikan-ikan hasil tangkapan
yang sudah dikumpulkan, hari itu didapatkan dua ekor matadamar yang berwarna
kemerahan dengan mata bulat yang cukup lebar, dengan berat ikan sekitar 0,5kg,
kemudian ikan tongkol dengan berat sekira 2kg 5 ekor, ikan parang-parang dengan
panjang sekitar setengah meter.
Ikan-ikan itu pun langsung
dibawa pulang, sementara Bapak Eli menambatkan perahunya di pantai dekat
kuburan sekitar 200 meter sebalah kanan desa.
Sampai di rumah, ikan langsung
ditauruh di para-para di luar dapur. Sudah tersedia satu ember air bersih
dengan jeruk di dalamnya. Sebelum dibersihkan rupanya ada dua orang tetangga
yang datang dn langsung membeli ikan tongkol mereka seekornya dihargai
Rp10.000,-
Sisanya, ikan-ikan itu langsung
dibersihkan dan dipotong-potong oleh istri Bapak Eli, yang katanya akan
disimpan di kulkas milik adek mereka. Di rumah Bapak Eli tidak ada kulkas
pendingin.
Menurut istri Bapak Eli, ikan
ikan itu akan dimasak untuk bekal pukul sagu ke Dusong.
Dia juga memberikan setengah
ikan tongkol (dibelah dua) untuk keluarga adiknya yang menerima titipan ikannya
untuk disimpan. Biasanya ikan-kan tersebut dimasak santan untuk ikan
parang-parang dan matadamar, sedangkan tongkol digoreng dan dimakan dengan
sambal colo-colo atau dabu-dabu.
Sebelum ada kulkas, lemari
pendingin, msyarakat Haruku menyimpan daging ikan dengan teknologi tradisional
penyimpanan makanan yaitu daging di asar/diasap. Setelah daging diasap selama
satu jam, daging bisa langsung dimakan, namun bila akn disimpan, maka daging
akan dibiarkan menggantung kering di tempat pengasapan. Namun teknik semacam
ini sudah jarang dilakukan.
Dapur orang Haruku memiliki
keragaman yang khas, mereka memiliki para-para di dekat pintu masuk di depan
para-para terdapat tumpukan batu yang berguna untuk membuang air cucian, air
limbah akan menerap ke dalam batu dan kembali ke tanah, sedangkan kotoran yang
ada dalam limbah itu akan tersangkut di batu, pada saat matahari mengeringkan
batu-batu itu, maka kotoran yang menyangkut di batu dapat diambil dan dibuang
ke tempat sampah kering.
Sistem ini bagus sehingga tidak
ada comberan yang bau dan mengundang nyamuk. Dapur adalah tempat menyimpan
segala peralatan penangkapan ikan, mulai jaring, keranjang ikan, bahkan mereka
juga menyimpan atap berupa jalinan dari daun sagu di sisi luar dapur. Di
sekitar dapur terdapat tanaman yang juga bisa dikonsumsi dan sebagai bumbu
dapur, seperti pepaya, jeruk atau mereka sebut pohon lemong, nanas, dan beragam
dedaunan yang bisa dimasak sayur.
Mereka juga memiliki satu
tempat untuk kayu bakar, yang juga berguna untuk menyimpan berbagai bibit
tanaman yang sedang mereka upayakan seperti tunas kelapa, bibit cengkeh, dan
bibit pala.(*)